Gadis Kereta Api
Palang
pintu kereta telah diturunkan dan sirene tanda kereta api lewat pun telah
dinyalakan, dengan sigap kaubediri di tengah jalan. Tanganmu sibuk mengatur
kendaraan yang memaksa untuk tetap melintas. Pluit di tanganmu tak henti-hentinya
kautiupkan. Dengan sabar kaumeredam kemacetan yang tercipta.
Ting
tong ting tong ….
Beberapa
puluh detik berlalu tetapi kereta yang dinanti tak kunjung melintas. Pemilik
kendaraan yang berbaris tak rapi di depan kedua palang pintu mulai bersumpah
serapah. Belum lagi pengendara sepeda motor yang tidak sabaran malah menyalakan
gas keras-keras menambah suasana di siang itu semakin panas.
Hari
ini setahun silam di suasana yang sama kaumenyaksikan sendiri maut itu merenggut
paksa Bapak, karena kecerobohan segelintir orang yang tidak memiliki
kesabaran dan disiplin diri.
***
Bapak
mengusap peluh yang membasahi dahinya, tak dihiraukannya penat yang menyiksa.
Demi tugas Bapak rela berpanas-panas dan berteman dengan kebisingan di
jalanan. Deru kendaraan bermotor menjadi teman sehari-harinya, bahkan sumpah
serapah pun kerap diterimanya. Seperti siang ini …
Bapak
terburu-buru menurunkan palang pintu kereta api begitu melihat sinyal menyala
dari dalam pos. Bapak memperkirakan kereta akan melintas lima menit lagi, tidak
seperti biasanya stasiun terlambat mengirimkan sinyal. Bapak harus bekerja
ekstra untuk ini, Bapak lupa membunyikan sirene. Pengendara mobil dan sepeda
motor yang tidak menyangka palang pintu akan diturunkan tanpa aba-aba mulai
menggerutu.
“Main
turunin aja, sirenenya aja belum kedengaran!” bentak salah seorang pengendara
mobil di depan palang pintu.
“Masih
lama kan keretanya lewat, saya buru-buru, nih.” Ujar salah seorang pengendara
motor.
“Ya,
Pak, akan segera saya bunyikan. Keretanya sebentar lagi tiba …” Bapak melangkah
menuju pos untuk menyalakan sirene, tapi ia urungkan mengingat sebentar lagi
kereta akan tiba. Jika ia masuk ke dalam pos, bisa dipastikan ada saja
pengendara yang ‘nakal’ mencuri-curi kesempatan untuk menerobos palang pintu.
Menjelang
detik-detik kereta datang, mendadak dari arah samping sebuah motor nekad melintas.
Bapak yang sedang berdiri di sisi lintasan segera mencegah motor tersebut,
dengan kekuatan yang entah datang dari mana Bapak mampu mendorong motor itu dan
terlempar ke pinggir lintasan. Sementara Bapak ... tubuhnya terseret kereta api yang melaju
cepat membawanya berpuluh-puluh meter.
Si
pengendara yang nekad itu menatap tak percaya apa yang terjadi, napasnya turun
naik. Menyadari dirinya baru saja selamat dari maut, tapi justru mengantarkan
orang lain menjemput mautnya. Ia syok. Orang-orang memandang dengan tatapan
nanar ke arahnya, tak ada yang berkata-kata.
“Bapaaaak
…!” teriakmu kala itu. Tas yang masih tercangklong di punggungmu langsung
terlempar, juga surat tanda lulusmu dari sekolah yang sejatinya ingin
kauperlihatkan pada Bapak akhirnya melayang entah ke mana. Kau segera berlari
menuju tubuh Bapak yang terempas.
“Bapaaak,
Bapak … Rindu lulus SMA, Pak,” hanya itu yang terucap dari bibirmu, Ibumu yang
menyusul tak kuasa melihat jasad Bapak yang sudah hancur dan tak dikenali lagi.
Ibu terkulai tak berdaya di sampingmu yang masih menangis tersedu. Sementara
orang-orang yang ramai berdatangan hanya terpaku menonton dirimu yang perlahan
mulai memunguti bagian tubuh Bapak yang tercecer.
***
“Woi
…! Mana keretanya, enggak lewat-lewat dari tadi, bisa baca sinyal enggak, sih?”
“Dari
sebelah mana sih keretanya lewat, kanan apa kiri? belum ada tanda-tandanya juga
…”
“Keretanya
berhenti di stasiun kaliii …!”
Teriakan
para pengemudi kendaraan yang tidak sabaran itu membuyarkan lamunanmu. Seperti
biasa kau tetap tersenyum menanggapi semua itu. Tanganmu memberi isyarat bahwa
kereta akan segera datang.
Tak
lama kemudian kereta pun melintas, mereka yang sejak tadi menggerutu terdiam
sesaat, mulai mengatur strategi lagi untuk melanjutkan perjalanan yang
tertunda.
Begitu
palang pintu terangkat pengendara sepeda motor mulai berlomba-lomba melintas.
Mobil-mobil pun tak mau kalah. Penjaga palang pintu kereta api itu mulai
beraksi lagi mengatur laju kendaraan. Dalam hati kauberdoa semoga semuanya berakhir baik.
“Hhmm …” dirimu menarik napas, kaududuk di
depan pos penjagaan. Diletakkannya topi yang menutupi kepalamu sedari tadi,
tanganmu mengibas-ngibas mencari angin, peluh membasahi dahi dan rambut hitammu
yang tergerai indah.
Cukup
kejadian setahun lalu yang menimpa Bapak sebagai pelajaran untuk semua orang
agar bisa mendisiplinkan diri mereka sendiri. Tetapi sepertinya itu menjadi satu
hal yang jauh panggang dari api, sangat jauh kaurindukan. Pantaslah orang tuamu
menamai dirimu Rindu. Mungkin ini yang mereka maksudkan, Bapak merindukan
semua orang kelak bisa berbaris rapi menanti kereta api lewat. Tidak ada lagi
sumpah serapah yang memekikkan telinga, tidak ada lagi deru kendaraan bising
yang berlomba dengan laju kereta.
“Rindu,
ini air es. Kamu pasti capek toh, Nduk.” Ibu datang membawa seplastik es
teh, kau segera menyambarnya untuk memenuhi dahagamu.
“Ibu
sudah selesai mencucinya?” Ibu mengangguk. Rindu mengedarkan pandangan ke
sebuah gubuk di pinggir rel tak jauh dari pos penjagaannya. Dilihatnya jemuran
cucian sudah berderet rapi di depan gubuk itu.
Ibumu memang bekerja sebagai buruh cuci di perumahan kompleks di belakang rel kereta.
Setiap hari tak kurang dari 30 puluh kilo pakaian yang dicuci Ibumu, sebenarnya
kau tidak tega melihat Ibu yang sudah renta itu bekerja begitu keras. Biarlah
dirimu saja yang menanggung semua beban hidup. Tapi Ibu tetap Ibumu yang juga
berpendirian keras sepertimu, Ibu bilang, penghasilanmu sebagai penjaga
palang pintu kereta api tidak seberapa, hanya mengandalkan belas kasihan orang
yang lewat, itu pun jika mereka berkenan melempar beberapa uang receh jika
sedang melintas. Tapi lebih banyak yang tidak, mereka lebih banyak yang cuek
bebek tidak memperhatikan kehadiranmu.
Padahal
jika mereka semua mau berpikir, apa jadinya jika kau tidak mengatur palang
pintu itu sehari saja, pasti akan kacau jadinya. Ibumu pernah membujukmu untuk
melakukan mogok kerja sesekali, tapi dengan tegas kaumenolak. Hanya satu
yang menjadi alasanmu, kau tidak ingin ada korban lain lagi seperti Bapak.
Tapi
Ibumu tidak pernah berhenti membujukmu, seperti saat ini …
“Rindu
kamu benar-benar siap menggantikan Bapak menjadi penjaga pintu kereta api ini, Nduk? Apa kamu tidak mau mencari
pekerjaan yang lain toh, Nduk?” Ibu
menatap Rindu dalam.
“Bu,
Bapak sudah meninggal setahun lalu. Begitu juga Rindu, sudah setahun jadi
penjaga palang pintu kereta api ini. Kenapa Ibu masih menanyakan hal itu terus?”
Rindu balas menatap wajah Ibu.
“Tapi
kamu anak perempuan, Nduk, kamu enggak
pantas kerja seperti ini …”
“Siapa
bilang, kalo bukan Rindu siapa lagi yang menggantikan Bapak, toh. Selepas Bapak meninggal enggak ada
yang jaga di lintasan ini dan banyak terjadi kecelakaan, kan? Bu, Rindu
terpanggil untuk menggantikan tugas Bapak.” Ujar Rindu memandang kendaraan yang
berlalulalang.
“Tapi
itu pekerjaan laki-laki, Nduk …” Ibu berucap
lemah.
“Rindu
tahu, Bu, tapi siapa yang mau menjadi penjaga palang pintu kereta api ini
selain Rindu? Apa Ibu tahu siapa orangnya?” Ibu menggeleng pelan. “Rindu
sanggup dan Rindu mau itu yang terpenting.” Ucap Rindu tegas. Dilihatnya sinyal
di dalam pos menyala tanda akan ada kereta yang lewat.
Kau bergegas meninggalkan Ibumu yang masih menatap nanar. Kau pun segera mengenakan kembali topimu dan mulai menyalakan sirene lalu menurunkan palang pintunya.
Kau bergegas meninggalkan Ibumu yang masih menatap nanar. Kau pun segera mengenakan kembali topimu dan mulai menyalakan sirene lalu menurunkan palang pintunya.
Semoga kauselamat dalam tugasmu dan
menemukan kebahagiaanmu, Nduk. Doa Ibu seiring
bunyi sirene yang telah kaunyalakan.
Ting tong ting tong ….
Komentar
Posting Komentar