Gadis Kereta Api


Medan Bisnis Agustus 2012 

Ting tong ting tong ….
Palang pintu kereta telah diturunkan dan sirene tanda kereta api lewat pun telah dinyalakan, dengan sigap kaubediri di tengah jalan. Tanganmu sibuk mengatur kendaraan yang memaksa untuk tetap melintas. Pluit di tanganmu tak henti-hentinya kautiupkan. Dengan sabar kaumeredam kemacetan yang tercipta.

Ting tong ting tong ….
Beberapa puluh detik berlalu tetapi kereta yang dinanti tak kunjung melintas. Pemilik kendaraan yang berbaris tak rapi di depan kedua palang pintu mulai bersumpah serapah. Belum lagi pengendara sepeda motor yang tidak sabaran malah menyalakan gas keras-keras menambah suasana di siang itu semakin panas.
Hari ini setahun silam di suasana yang sama kaumenyaksikan sendiri maut itu merenggut paksa Bapak, karena kecerobohan segelintir orang yang tidak memiliki kesabaran dan disiplin diri.
***
Bapak mengusap peluh yang membasahi dahinya, tak dihiraukannya penat yang menyiksa. Demi tugas Bapak rela berpanas-panas dan berteman dengan kebisingan di jalanan. Deru kendaraan bermotor menjadi teman sehari-harinya, bahkan sumpah serapah pun kerap diterimanya. Seperti siang ini …
Bapak terburu-buru menurunkan palang pintu kereta api begitu melihat sinyal menyala dari dalam pos. Bapak memperkirakan kereta akan melintas lima menit lagi, tidak seperti biasanya stasiun terlambat mengirimkan sinyal. Bapak harus bekerja ekstra untuk ini, Bapak lupa membunyikan sirene. Pengendara mobil dan sepeda motor yang tidak menyangka palang pintu akan diturunkan tanpa aba-aba mulai menggerutu.
“Main turunin aja, sirenenya aja belum kedengaran!” bentak salah seorang pengendara mobil di depan palang pintu.
“Masih lama kan keretanya lewat, saya buru-buru, nih.” Ujar salah seorang pengendara motor.
“Ya, Pak, akan segera saya bunyikan. Keretanya sebentar lagi tiba …” Bapak melangkah menuju pos untuk menyalakan sirene, tapi ia urungkan mengingat sebentar lagi kereta akan tiba. Jika ia masuk ke dalam pos, bisa dipastikan ada saja pengendara yang ‘nakal’ mencuri-curi kesempatan untuk menerobos palang pintu.
Menjelang detik-detik kereta datang, mendadak dari arah samping sebuah motor nekad melintas. Bapak yang sedang berdiri di sisi lintasan segera mencegah motor tersebut, dengan kekuatan yang entah datang dari mana Bapak mampu mendorong motor itu dan terlempar ke pinggir lintasan. Sementara Bapak ... tubuhnya terseret kereta api yang melaju cepat membawanya berpuluh-puluh meter.
Si pengendara yang nekad itu menatap tak percaya apa yang terjadi, napasnya turun naik. Menyadari dirinya baru saja selamat dari maut, tapi justru mengantarkan orang lain menjemput mautnya. Ia syok. Orang-orang memandang dengan tatapan nanar ke arahnya, tak ada yang berkata-kata.
“Bapaaaak …!” teriakmu kala itu. Tas yang masih tercangklong di punggungmu langsung terlempar, juga surat tanda lulusmu dari sekolah yang sejatinya ingin kauperlihatkan pada Bapak akhirnya melayang entah ke mana. Kau segera berlari menuju tubuh Bapak yang terempas.
“Bapaaak, Bapak … Rindu lulus SMA, Pak,” hanya itu yang terucap dari bibirmu, Ibumu yang menyusul tak kuasa melihat jasad Bapak yang sudah hancur dan tak dikenali lagi. Ibu terkulai tak berdaya di sampingmu yang masih menangis tersedu. Sementara orang-orang yang ramai berdatangan hanya terpaku menonton dirimu yang perlahan mulai memunguti bagian tubuh Bapak yang tercecer.
***
“Woi …! Mana keretanya, enggak lewat-lewat dari tadi, bisa baca sinyal enggak, sih?”
“Dari sebelah mana sih keretanya lewat, kanan apa kiri? belum ada tanda-tandanya juga …”
“Keretanya berhenti di stasiun kaliii …!”
Teriakan para pengemudi kendaraan yang tidak sabaran itu membuyarkan lamunanmu. Seperti biasa kau tetap tersenyum menanggapi semua itu. Tanganmu memberi isyarat bahwa kereta akan segera datang.
Tak lama kemudian kereta pun melintas, mereka yang sejak tadi menggerutu terdiam sesaat, mulai mengatur strategi lagi untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Begitu palang pintu terangkat pengendara sepeda motor mulai berlomba-lomba melintas. Mobil-mobil pun tak mau kalah. Penjaga palang pintu kereta api itu mulai beraksi lagi mengatur laju kendaraan. Dalam hati  kauberdoa semoga semuanya berakhir baik.
 “Hhmm …” dirimu menarik napas, kaududuk di depan pos penjagaan. Diletakkannya topi yang menutupi kepalamu sedari tadi, tanganmu mengibas-ngibas mencari angin, peluh membasahi dahi dan rambut hitammu yang tergerai indah.
Cukup kejadian setahun lalu yang menimpa Bapak sebagai pelajaran untuk semua orang agar bisa mendisiplinkan diri mereka sendiri. Tetapi sepertinya itu menjadi satu hal yang jauh panggang dari api, sangat jauh kaurindukan. Pantaslah orang tuamu menamai dirimu Rindu. Mungkin ini yang mereka maksudkan, Bapak merindukan semua orang kelak bisa berbaris rapi menanti kereta api lewat. Tidak ada lagi sumpah serapah yang memekikkan telinga, tidak ada lagi deru kendaraan bising yang berlomba dengan laju kereta.
“Rindu, ini air es. Kamu pasti capek toh, Nduk.” Ibu datang membawa seplastik es teh, kau segera menyambarnya untuk memenuhi dahagamu.
“Ibu sudah selesai mencucinya?” Ibu mengangguk. Rindu mengedarkan pandangan ke sebuah gubuk di pinggir rel tak jauh dari pos penjagaannya. Dilihatnya jemuran cucian sudah berderet rapi di depan gubuk itu.
Ibumu memang bekerja sebagai buruh cuci di perumahan kompleks di belakang rel kereta. Setiap hari tak kurang dari 30 puluh kilo pakaian yang dicuci Ibumu, sebenarnya kau tidak tega melihat Ibu yang sudah renta itu bekerja begitu keras. Biarlah dirimu saja yang menanggung semua beban hidup. Tapi Ibu tetap Ibumu yang juga berpendirian keras sepertimu, Ibu bilang, penghasilanmu sebagai penjaga palang pintu kereta api tidak seberapa, hanya mengandalkan belas kasihan orang yang lewat, itu pun jika mereka berkenan melempar beberapa uang receh jika sedang melintas. Tapi lebih banyak yang tidak, mereka lebih banyak yang cuek bebek tidak memperhatikan kehadiranmu.
Padahal jika mereka semua mau berpikir, apa jadinya jika kau tidak mengatur palang pintu itu sehari saja, pasti akan kacau jadinya. Ibumu pernah membujukmu untuk melakukan mogok kerja sesekali, tapi dengan tegas kaumenolak. Hanya satu yang menjadi alasanmu, kau tidak ingin ada korban lain lagi seperti Bapak.
Tapi Ibumu tidak pernah berhenti membujukmu, seperti saat ini …
“Rindu kamu benar-benar siap menggantikan Bapak menjadi penjaga pintu kereta api ini, Nduk? Apa kamu tidak mau mencari pekerjaan yang lain toh, Nduk?” Ibu menatap Rindu dalam.
“Bu, Bapak sudah meninggal setahun lalu. Begitu juga Rindu, sudah setahun jadi penjaga palang pintu kereta api ini. Kenapa Ibu masih menanyakan hal itu terus?” Rindu balas menatap wajah Ibu.
“Tapi kamu anak perempuan, Nduk, kamu enggak pantas kerja seperti ini …”
“Siapa bilang, kalo bukan Rindu siapa lagi yang menggantikan Bapak, toh. Selepas Bapak meninggal enggak ada yang jaga di lintasan ini dan banyak terjadi kecelakaan, kan? Bu, Rindu terpanggil untuk menggantikan tugas Bapak.” Ujar Rindu memandang kendaraan yang berlalulalang.
“Tapi itu pekerjaan laki-laki, Nduk …” Ibu berucap lemah.
“Rindu tahu, Bu, tapi siapa yang mau menjadi penjaga palang pintu kereta api ini selain Rindu? Apa Ibu tahu siapa orangnya?” Ibu menggeleng pelan. “Rindu sanggup dan Rindu mau itu yang terpenting.” Ucap Rindu tegas. Dilihatnya sinyal di dalam pos menyala tanda akan ada kereta yang lewat. 
Kau bergegas meninggalkan Ibumu yang masih menatap nanar. Kau pun segera mengenakan kembali topimu dan mulai menyalakan sirene lalu menurunkan palang pintunya. 
Semoga kauselamat dalam tugasmu dan menemukan kebahagiaanmu, Nduk. Doa Ibu seiring bunyi sirene yang telah kaunyalakan.
 Ting tong ting tong ….

*Cerpen Pertama Saya yang Dimuat di Koran Medan Bisnis Minggu, 18 November 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran