Posesif is Not Bad





Aku tidak tahu kenapa Wanda memberiku julukan Mr. Posesif padahal aku melakukan semua demi dia, demi kebaikan dirinya.
***
“Seharusnya kamu banyak berlatih mengerjakan soal Matematika, supaya kalo ulangan kamu lancer mengerjakannya. Ini, bukannya belajar malah hang out plus karokean di mal, bagaimana mamamu enggak marah,” tukasku pelan. 
“Jo, please deh enggak usah terlalu mengatur kehidupanku!” Wanda bangkit dari duduknya, makan malam yang kurencanakan indah sepertinya berakhir berantakan.
“Wanda … tunggu Wan!” teriakku. Tapi Wanda telah berjalan jauh meninggalkanku. Aku mengejarnya dengan setengah berlari.
Kulihat Wanda berdiri di depan kafe sambil bersedekap. “Wanda, maafin aku ya. Sungguh, aku tuh enggak bermaksud untuk mengatur kehidupan kamu …” ujarku mendekatinya. Wanda tidak menoleh.
“Sudah berulang kali kamu bilang seperti itu padaku, tapi apa? Kamu selalu over protektif. Bahkan  melebihi mamaku,” umpat Wanda kesal.
“Aku, over protektif? Wanda, aku tuh cuma …”
“Nelponin aku hampir setiap setengah jam sekali, nanya aku lagi apa, sama siapa … aku bosan tahu! Sampai mandi pun kamu tanyain, bagaimana aku enggak bete!” Wanda semakin mencak-mencak.
“Tapi Wan … itu kan berarti aku perhatian sama kamu,” ucapku mengutarakan pembelaan.
Wanda menarik napas sebelum akhirnya berkata lagi, “perhatian katamu, itu sih bukan perhatian tapi sipir penjara. Aku ini bukan tahanan kamu yang harus kamu awasi setiap waktu. Eggak usah sok mengajari aku Matematika deh aku paling benci pelajaran itu!” Wanda menyetop taksi yang lewat lantas masuk ke dalamnya tanpa memedulikan teriakanku yang terus memanggil namanya.
***
Seusai jam pelajaran, aku dan Rendra duduk di kantin sambil menikmati sepiring siomay dan minuman dingin sebelum pulang.
“Cewek kalo terlalu dikekang, dia enggak mau Jo,” ujar Rendra saat kuceritakan kejadian semalam.
“Aku enggak ngekang dia, aku cuma kasih perhatian lebih ke dia, wajar, kan, Dra?” aku membuang muka dengan kesal. Sebagai sahabat, Rendra bukannya mendukungku tapi  dia malah membela Wanda.
“Wajar sih Jo kalo kamu sms sekedarnya saja, enggak usah berlebihan begitu,” ucap Rendra, masih membela Wanda.
“Berlebihan bagaimana, aku rasa si Wanda aja yang sensi …” tukasku lalu memasukan sepotong siomay ke mulutku.
“Nah kamu tahu dia sensi, perhatianmu yang berlebihan itu malah bikin dia makin sensi. Kesannya kamu enggak percaya sama pacar sendiri.” Tandas Rendra mengakhiri pendapatnya.
“Oke lah aku ikutin apa maunya dia aja,” sahutku mengakhiri pembicaraan yang bagiku hanya menghakimiku. Kami bangkit dari kantin lalu menuju parkiran.
Ketika melewati kelas XI IPA 2 aku melihat Wanda sedang asik bercanda dengan salah seorang teman laki-laki sekelasnya. Aku hendak menghampirinya tapi Rendra segera menarik lenganku.
“Ssst … enggak usah masuk, kita pulang aja, yuk.” Ajaknya.
“Tapi Dra kamu lihat sendiri kan kalo Wanda lagi digodain tadi,” kilahku, hendak memutar langkah.
“Barusan kamu bilang sendiri mau memberi Wanda kepercayaan, kalo kamu datengin dia tadi, aku yakin pasti Wanda lebih marah lagi dibanding kejadian semalam di kafe.” Rendra menatapku lekat untuk memberi keyakinan.
“Kamu yakin? Tapi tadi kan Wanda akrab banget sama tuh cowok …” aku masih tak mau menerima kata-kata Rendra.
Rendra menarik napas. “Apa salahnya dia bercanda dengan teman-teman sekelasnya, tadi ada teman ceweknya juga, kan?” Rendra melangkah meninggalkanku yang masih terpaku di sudut koridor sekolah.
“Ya juga, sih.” Aku mengangguk dan langsung mengejar Rendra.
***
Aku menimang-nimang ponsel, susah sekali meredam keinginan untuk tidak menelpon Wanda. Sejak siang tadi aku tidak menghubunginya. Eh sejak kemarin malam ketika terakhir kami makan malam di kafe yang berakhir kacau itu. Mungkin aku akan mengiriminya sms saja sekedar menanyakan kabar dan meminta maaf atas kejadian itu.
Beib, apa kabar? Sorry ya atas sikapku di kafe itu. Mulai sekarang aku enggak akan over protektif lagi deh sama kamu. With love, Joan.
Aku menarik napas, terserah Wanda mau marah lagi atau tidak padaku yang penting aku sudah menunaikan keinginanku untuk menghubunginya. Lima menit hingga sepuluh menit berlalu tapi Wanda tak juga membalas smsku, mungkin ia masih marah, sudahlah.
***
Setelah memarkir motor aku segera menuju kelas. Semoga Bu Hanifa guru Biologiku belum datang, jika aku terlambat maka harus menunggu di luar kelas hingga pelajarannya usai. Melewati kelas Wanda kulihat ia menatapku dan tersenyum tapi karena aku sedang terburu-buru aku tak membalas senyumannya.
“Kesiangan Jo, untung Bu Hanifa belum masuk kelas.” Rendra menghampiri mejaku dan menyapa.
 “Iya nih aku pusing mikirin Wanda udah satu minggu ini aku enggak pernah nelpon atau sms dia lagi,” ujarku seraya mengeluarkan buku Biologi dari dalam tasku.
“Loh kok bisa Jo, biasanya kamu perhatian sama Wanda.” Rendra terlihat heran.
“Kan kamu sendiri yang kasih saran seperti itu, semoga Wanda senang tidak merasa terganggu lagi dengan ratusan sms enggak penting dariku,”
“Mudah-mudahan Jo.” Rendra berlalu menuju mejanya sambil tersenyum tipis. Kenapa tuh anak kok kelihatan aneh.
Selepas pelajaran usai aku segera menuju kelas Wanda kangen juga satu minggu tidak pulang berboncengan dengan dia.
“Siska kamu lihat Wanda?” tanyaku pada sahabat Wanda ketika kulihat Wanda sudah tidak ada di kelasnya.
“Loh tadi kayaknya pulang bareng Rendra deh,” sahut Siska sambil tersenyum genit.
“Rendra?” tanyaku memastikan.
“Iya, udah dua hari ini mereka pulang bareng.” Penjelasan Siska membuatku kaget. “Kamu sama Wanda udah putus ya?” tanya Siska kemudian.
 Aku tidak menjawab pertanyaan Siska, segera kulangkahkan kaki menuju parkiran. Semoga apa yang ada dalam pikiranku tidak terjadi.
Aku tiba di halaman rumah Wanda. Dari pagar rumahnya yang tidak tinggi aku bisa melihat Wanda dan Rendra asik berbincang di teras depan. Aku melangkah masuk hingga berdiri di hadapan mereka berdua.
“Aku sama sekali enggak nyangka kalo sahabatku sendiri tega mengkhianatiku,” ucapku membuat Rendra dan Wanda berhenti tertawa dan menoleh ke arahku.
“Jo, kamu kok bisa ke sini?” Rendra terlihat kaku menyadari kehadiranku.
“Kenapa, kaget aku ke sini? Wanda masih cewekku jadi wajar kalo aku datang ke rumahnya. Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu, Dra. Ngapain kamu di sini?” tukasku menatap tajam Rendra.
“Jo kamu kok ngomongnya gitu sama Rendra? Dia ke sini cuma mau nemenin aku aja, kan kamu sibuk persiapan olimpiade Matematika,” melihat situasi tidak kondusif Wanda bangkit dari duduknya.
“Beib, enggak usah baik sama ular kepala dua seperti dia. Ngomong apa aja dia tentang aku sama kamu? Tahu enggak dia bilang aku enggak usah sering-sering telpon atau sms kamu, cewek itu butuh kepercayaan dari cowoknya, bla bla bla …” Joan membanting tasnya ke lantai. Wanda dan Rendra terkesiap.
“Loh, aku pikir kamu masih marah sama aku. Kamu kok enggak pernah sms dan telpon lagi, terus kamu juga kan sibuk mau ikutan olimpiade jadi aku juga enggak mau ganggu. Padahal aku kangen loh sama sms sayang kamu itu ternyata sms yang kuanggap enggak penting itu justru jadi penyemangat buatku Jo …” ujar Wanda polos.
“Maaf aku enggak bermaksud memancing di air keruh kok, cuma …” Rendra seperti sukar menemukan kata yang pas untuk kalimatnya.
“Udahlah Dra, aku tahu kamu suka sama Wanda kan. Aku enggak suka cara kamu ‘pagar makan tanaman’ seperti ini, mulai sekarang persahabatan kita putus!” tegasku, Rendra menatap berang padaku.
“Oke, aku juga udah bosan jadi bayang-bayang kamu terus. Semoga Wanda betah sama cowok posesif seperti kamu itu.” Rendra meninggalkan aku dan Wanda.
“Jo, kok sampe separah itu, apa enggak bisa diperbaiki lagi?” Wanda menghiba.
“Sudah terlalu sering dia main belakang dan menjelekkanku di hadapanmu.” Ucapku memalingkan muka tak ingin melihat kepergian Rendra.
“Jadi kamu enggak merasa terganggu sama sms aku?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Ya, kalo keseringan sih bete juga tapi tetap ngangenin kok, enggak ada cowok yang seperhatian itu sama aku selain kamu Jo.” Lengan Wanda menggelayut manja di bahuku.
“Kemarin waktu makan malam kenapa kamu marah,” aku menatapnya.
“Hihi … kemarin aku lagi M jadi bawaanya marah melulu, aku juga bete habis diomelin Mama karena ulangan Matematika dapet lima. Padahal punya cowok jago Matematika. Aku sebal Mama banggain kamu terus di depanku, aku ini kan anaknya.” Wanda cemberut.
“Yee, iri aja. Enggak usah cemberut gitu jelek tahu! Yang pasti Mama kamu tuh sayang sama kamu.” Aku tersenyum. “Yuk, kita sama-sama belajar Matematika, supaya enggak dapet lima lagi. Oya, kamu udah makan siang belum nanti sakit loh, sana ganti baju dulu, masa pulang sekolah enggak ganti baju. Udah gede masih diajarin aja malu tuh sama anak tetangga yang masih SD aja kalo dibilangin ngerti …” Wanda ngeloyor masuk ke dalam meninggalkanku yang masih asik nyerocos.
“Beib aku kok ditinggalin di teras sendirian.” Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah.
“Aku mencium lagi aroma posesif di luar tadi.” Wanda masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat. Kulihat Mamanya tersenyum simpul di mulut dapur.

Aroma posesif, Aku terkekeh.***



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang dimuat di majalah Hai 2015, tanggalnya malah aku sudah lupa :D masih asli dengan format tulisan yang dulu tanpa ada perubahan. Dulu, cuma ada sms dan telepon jadi wajar saja di cerpen ini tak ada bbm, line dan sodaranya yang lain. Tokohnya masih jadul, hihihi ... Selamat menikmati. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran