Satu Senja di Cibubur
Lumayan lama ga nulis cerpen, pas nyoba nulis, kok gini ya. Iseng kirim ke salahsatu media dan ternyata ga dimuat. :D
So, aku post aja di sini :)
Satu
Senja di Cibubur
Zya Verani
Aku
melihatnya di senja pertama Februari lalu. Ya, di awal Februari. Gadis itu
mengambil tempat paling pojok, sepertinya sengaja ingin menyendiri karena tak
kulihat sesiapapun bersamanya. Semangkuk bakso di depannya rupanya tak
menggugah seleranya. Bahkan mungkin pelantang telinga yang dikenakannya tak ia dengarkan dengan baik. Mata bening di balik kacamata ungunya tak bisa berbohong,
kumenebak ia baru saja patah hati.
Akan banyak pengunjung yang datang sebentar lagi. Itu artinya aku tak bisa lagi berlama-lama menatapnya. Benar saja, rombongan pertama datang, lima orang laki-laki mengambil tempat di depan. Mereka adalah pekerja di salah satu taman air di daerah Cibubur ini, ada logonya di T-Shirt yang mereka kenakan. Sebentar kemudian masuk tiga perempuan SPG dari sebuah mal besar di ujung jalan, mereka pelanggan tetap di sini.
Kedai bakso ini letaknya memang strategis, ada di jalan utama Cibubur yang bisa diakses langsung dari arah Cikeas, Bekasi dan sekitarnya. Wajar saja ketika jam makan siang dan pulang kantor tiba, kedai bakso ini selalu ramai pengunjung.
Hiruk pikuk di kedai bakso ini tak menganggunya. Gadis itu masih seperti semula. Duduk terpaku dengan pandangan nyaris kosong. Ia diam membisu. Sebentar, ia mengambil sendok dan menyesap sedikit kuah bakso lalu berdiri dan meninggalkan mejanya setelah menaruh beberapa lembar uang di sana. Mataku masih mengikutinya, ia menyeberang jalan. Rambut hitam ikalnya tertiup angin, ia menggoyangkan kepalanya sebentar agar rambutnya rapi kembali. Sia-sia. Rambutnya kembali menganggu, poni panjangnya menutupi pandangannya sekali lagi. Ia mengikat sembarang rambutnya dan memberhentikan sebuah taksi.
*
Dia
datang lagi, kali ini gadis itu duduk di meja pinggir yang menghadap jalan. Masih dengan pelantang telinga ungu senada dengan kacamatanya, matanya selalu mengarah keluar, mungkin menunggu seseorang atau malah ia sedang lari
dari seseorang. Dress berbunga oranye berlatar putih tulang menambah anggun penampilannya. Wedges putih polosnya semakin
mempercantik kaki jenjangnya. Usianya kutaksir hanya beberapa tahun di bawahku.
Masih muda.
Bosan
memandangnya dari jauh aku memberanikan diri mendekatinya.
“Hai,
penggemar bakso juga? boleh aku duduk di sini?” gadis itu mendongak menatapku
yang ujug-ujug datang membawa semangkuk bakso dan duduk di hadapannya. Mata
cokelatnya hanya dua detik menatapku.
“Bukankah
kau pemilik kedai bakso ini?” aku terperanjat. Dari mana ia tahu.
“Kau
pemiliknya, kan? sudah beberapa hari ini tiap kali kudatang, kulihat kau hanya
menonton. Atau tepatnya kau asik bersantai sambil memperhatikan kami para
pengunjung kedai.” Ucapnya tanpa ragu. Kali ini ia menandaskan baksonya. Hanya
sedikit kuah saja yang tersisa di mangkuk baksonya.
“Bagaimana?
mantap rasa baksonya?” aku tak menjawab pertanyaannya tapi malah melempar
tanya kepadanya lalu memasukkan bakso bulat bulat ke mulutku.
“Lumayan,”
sahutnya singkat.
“Racikan
bakso kami tidak seperti yang lain, yang ini anti mainstream,” aku membelah bakso yang lebih besar dan terlihatlah
tekstur bakso yang kenyal dan penuh dengan daging giling di dalamnya, juga lava
sambal yang keluar dari tengahnya.
“Anti
mainstream?”
“Ya,
tidak selalu mengikuti selera pasar. Cukup mengikuti selera pemiliknya. Jika
sudah merasakan dan tahu bedanya mereka pasti akan datang lagi dan lagi. Seperti
dirimu yang sudah terpaut dengan rasanya.” Aku menusuk bakso berselimut sambal
itu dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Biasa
saja,” matanya mengamati sekeliling. Figura besar di sudut ruangan menarik
perhatiannya. Lukisan dengan aku dan dua saudara perempuanku yang terlihat cantik dalam
balutan batik mega mendung.
“Itu
aku dan saudaraku,”
“Aku
tidak sedang bertanya,”
“Aku
sedikit menjelaskan saja.”
Dua
jenak tercipta, sepertinya ia tidak menyukaiku. Tapi aku tidak menyerah, ia
hanya sedang patah hati. Aku tahu itu.
*
Sore
ini ia kembali datang. Air mukanya kusut, entah apalagi yang terjadi. Sepertinya
semakin buruk. Terlihat sekali ia sedang menderita, ada rasa kehilangan dan
ditinggalkan yang menyeruak. Aku tahu itu. Aku telah jatuh cinta pada gadis itu
sejak kali pertama melihatnya. Aku pernah merasakan pedihnya dikhianati,
mungkin sama seperti yang ia rasakan kini. Ingin sekali aku merengkuhnya untuk
menghiburnya.
Sengaja aku yang membawakan bakso pesanannya.
Sengaja aku yang membawakan bakso pesanannya.
“Kau
terlihat sedih sekali hari ini,” ucapku membuka perbincangan. Ia tak menyahut.
Menghabiskan baksonya hanya dalam diam.
“Kautahu,
kau terlihat lebih cantik dengan rambut tergerai,” aku spontan melepas jepit
rambut yang menggelung rambutnya di tengkuknya. Ia melirik tak suka tapi tidak
mencegahku.
“Owh... I’m sorry,”
lirihku. Kebisuan kembali merebak.
“Kautahu,
kau juga lebih anggun dengan dress
seperti kemarin, kenapa sekarang mengubah penampilan dengan ber-jeans, belel pula? kau tidak sedang
menarik perhatian seseorang, kan?” mungkin aku terlihat lancang. Tapi aku hanya
ingin menunjukkan perhatianku padanya. Sungguh.
“Begitukah?”
tanyanya singkat dengan sedikit mata berbinar yang disamarkan. Sepertinya ia
mulai masuk perangkapku.
“Aku
tak pernah salah menilai orang, apalagi untuk gadis secantik dan seanggun
dirimu. Kau tak pantas berpenampilan seperti itu,” aku mengerling tersamar.
Bola matanya membulat, sukar dilukiskan apa artinya.
“Ajeng!
Piye kabare? Pantas ndak pernah nongol lagi di kost-an aku, wis ana sing anyar tah?” seseorang
memanggil dan mengagetkanku dari
belakang.
“Pu…
Puan?!” ucapku terbata-bata, dari suaranya kutahu itu memang dia. Dan ia
menatapku penuh kebencian. Matanya beralih pada gadis itu.
“Kamu?!”
Puan terhenyak melihat gadis di depanku. Di luar dugaan, gadis di depanku
meraih tanganku dan mengenggamnya erat. Ia menatap Puan dengan tatapan penuh
kemenangan.
“Sekarang
kautahu, kan, bagaimana rasanya patah hati, Puan.” Ucapnya datar namun menohok.
Dan aku hanya bisa terpaku.
***
Komentar
Posting Komentar