Romansa Batik

Romansa Batik adalah fanfiction yang sengaja ditulis sebagai bentuk apresiasi penulis pada cerita Dharmawangsa Series yang ditulis oleh Kak Ary Nilandari di wattpad. Cerita itu sendiri ada dua novel, yakni Write Me His Story dan Pelik.

Saking ngefans-nya saya pada semua tokoh di dua novel tersebut maka jadilah tulisan 'aneh' ini. Selamat menikmati...

Romansa Batik
Zya Verani

“Ngapain juga jalan menyusuri sungai ini, malah bolak balik pula," Wynter menggerutu. Celana khakinya sudah tak kakhi lagi warnanya lebih tepat ke arah cokelat tua sekarang.
"Namanya musim hujan ya pasti becek dan kotor, Wyn. Apalagi jalan ini masih tanah merah," sahut cewek berkacamata itu tanpa dosa. Wynter manyun. Kok bisa dia menjawab santai begitu, apalagi yang dicarinya belum ketemu.
"Terus abis ini mau kemana kita, awas aja kamu bawa aku ke tempat yang lebih antah berantah dari ini!" seru Wynter, menyesal ia menuruti ajakan cewek berlesung pipit itu. Yang diajak ngobrol malah asik dengan rambut ikalnya yang panjang lalu mengikatnya ke belakang. Tidak dikonde.
"Kamu ga bawa senjata saktimu itu?" Wynter menyela lagi. Yang disela lagi-lagi cuma melirik. Nyesal nanya deh, tadi ga usah nanya. "Hei, Megan Naja Nitisara!!"
Megan terkesiap,  Wynter menatapnya tajam.
"Kenapa sihh...?" Megan balas melotot. "Kamu tadi dengar sendiri mereka sudah pindah sejak peristiwa kebakaran itu." Suara Megan melunak tapi hanya sebentar. Dasar bule bawel!
"And then?"
"Kita ke Buciles." Megan mengambil langkah lebar-lebar tak peduli sisa tanah di sepatunya justru berlompatan ke udara dan hampir mengenai Wynter yang berjalan di belakangnya.
“Dasar emak-emak tukang nasi uduk ga abis! jalan aja udah kayak pedagang kaki lima dikejar trantib”. Wynter menggerutu lagi lantas menyusulnya dengan tergesa. Hei, Wynter tahu trantib, tahu pedagang kaki lima, tahu juga tukang nasi uduk.
"Senjata saktimu ke mana?" Wynter susah payah menjajari langkah Megan. Lagi-lagi itu yang ditanyakan. Wynter sepertinya kehabisan bahan obrolan. Eiittt... jangan menduga macam-macam,  nanti Wynter bisa protes, Hya mau dikemanakan. Melihat Megan tanpa tusuk konde seperti sarapan nasi uduk tanpa semur jengkol. Emang Wynter doyan sarapan nasi uduk?  Pake semur jengkol pula.
Wynter berjalan hati-hati. Kakinya diangkat tinggi-tinggi guna terhindar dari tanah merah becek yang sembarangan ditransfer Megan ke arahnya. Gerakannya seperti robot yang baru belajar jalan.
"Satu dua, satu dua... " Megan iseng menggodanya. Namun Wynter terlalu sibuk untuk mengerti.
"Iyesss jalan setapaknya sudah kelihatan!" seru Megan senang.
"Ooh... Noo, masih jalan lagi..." Wynter membulatkan mulutnya. "Kupikir kita sudah sampai... mana tadi, Buci... Buci apa?"
"Buciles... tuh komplek perumahannya ada di belakang bukit itu," Megan mengarahkan telunjuknya ke bukit di hadapan mereka. Lalu berjalan lagi. Wynter menarik napas panjang.
“Hei, Meja..." Wynter sengaja memanggil Megan dengan akronim yang asal-asalan.
"Kamu... " Megan menarik napas tertahan, menoleh dengan kesal, menatap sekilas lantas berjalan lagi. Si bule ini memanggilnya seenaknya saja.
"Kamu, kamu... kenapa jadi kamu yang sewot seharusnya kan aku," Wynter mau tak mau ikut menyusuri jalan setapak menuju bukit mengikuti Megan. "Kamu enggak lagi ngerjain aku, kan?" Wynter berusaha meyakinkan. Matanya menangkap matahari yang jelas terlihat di ujung jalan. Mulai menyengat, kulitnya mulai kemerahan.
"Hahaha... " Di luar dugaaan Megan malah ngakak. Wynter keki dibuatnya, mungkin juga sepatunya yang kini penuh bercak tanah merah di bagian atas kulitnya turut merasakan penderitaannya. Ia mengusap peluh di dahi. Meski di Bandung dingin tapi kalau sudah siang begini plus matahari yang tak terhalang apapun pasti panas juga rasanya. Plus gerah, apalagi jengkel malah memicu galau tak berkesudahan. Wynter memutuskan duduk di tepi jalan. Entah galau entah capek yang dirasakannya, Wynter malas menentukan. Karena jika ia galau, galaunya kenapa? jika memilih capek, Wynter pernah berjalan lebih jauh dari ini. Ingat enggak saat Dad berbicara pada Nana soal pemindahan paksa sekolahnya. Wynter mendengarnya dan langsung berjalan tak tentu arah. Tahu, sih arah... tapi pas mau balik ke rumah Wynter lupa arah.
Megan yang berjalan tanpa menengok ke belakang tak menyadari jika Wynter tak lagi mengikutinya. Ia malah asik dengan pikirannya sendiri, mengusir bayangan Ardi dan Raiden yang tiba-tiba melintas. Ardi, kenapa wajah anak itu akhir-akhir ini menjadi begitu sangat familiar. Adik kelas yang sok peduli dan sok perhatian. Tapi benar juga sih,  karena Ardi yang sudah menyelamatkan Megan dari 'gangguan' Raiden tempo hari di pesta Jocelyn.
Raiden, teman Wynter yang juga sama sok pedulinya dengan Ardi. Tapi dia lebih cenderung ke arah posesif. Megan tidak suka caranya memberi perhatian. Tapi Raiden lebih cool daripada Ardi sepertinya. Hati Megan menimbang. Jalan setapak mulai berbelok 90 derajat di belakang bukit.
"Wynter, Raiden temanmu itu gimana orangnya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Tak ada jawaban, enggak mungkin Wynter tidur sambil jalan, kan.
Megan menoleh. Benar saja,  tak ada Wynter di belakangnya. Wynter tak mungkin mendahuluinya. Lalu kemana perginya bule menyebalkan yang satu itu? Dengan kesal Megan memutar langkah. Kembali ke belokan awal. Dilihatnya Wynter asik selonjoran, kakinya di rerumputan basah sementara ia duduk di atas batu besar yang entah sejak kapan ada di situ.
“Wynter! Kapan sampainya kalo kamu santai begitu." Megan berkacak pinggang, rambut ikalnya berkibar tertiup angin, sebagian menyentuh pipinya. Manis juga
"Wynter!" Wynter terkesiap.
"Mau seragam kamu bagus lagi atau enggak? Ikutin aku dan jangan membantah." Tanpa menunggu jawaban, Megan kembali melangkah menyusuri jalan setapak itu hingga tubuhnya menghilang di kelokan.
“Dasar tukang nasi uduk, ngomel melulu.” Wynter mengumpat pelan.
Baru saja Wynter bangkit dari duduknya, melintas seorang anak bersepeda dengan boncengan banyak sekali bambu di belakangnya.
"Hey, wait...!" Wynter lari berusaha mengejar. Napasnya terengah-engah, untung saja jalanan itu menanjak, anak bersepeda itu pun berhasi dikejarnya.
"Hei, kamu Nata bukan?" tanya Wynter tanpa basa basi.
Anak itu menghentikan sepedanya. "Iya, betul. Kakak siapa ya?"
"MeJaaaaaaaaaa... Megaaaaaaan..." Wynter teriak sekencang-kencangnya. "Megan Naja Nitisaraaaa...!"
Megan berhenti di kejauhan. Ia melihat Wynter melambaikan tangan, ia berjalan beriringan dengan siapa tuh. Sepeda ontel dengan banyak barang di atas boncengannya. Hei... sepertinya anak itu...
"Megan, this is a boy that you looking for. Isn't he?" Seru Wynter begitu tiba di dekatnya. "Nata, anaknya bunda Nadia." Wynter menambahkan. Megan mengernyitkan dahi,  tak percaya.
"Barusan aku sudah tanya, dan ia mengiyakannya," bule ini beneran yakin. Megan tersenyum,  tapi pada anak berkacamata dan berambut acak-acakan yang menuntun sepeda di hadapannya. Bukan pada Wynter. Wynter melengos.
************
Di rumah Nata.
"Ooh... jadi Megan sekolah di Bandung juga sekarang." Bunda Nadia datang dari arah dapur. Megan bangkit dari duduknya mengambil alih baki dari tangan Bunda Nadia.
"Iya, tante. Saya tinggal sama tante Naura," sahut Megan sembari menata minuman dan camilan dari atas baki ke meja.
"Megan pinter loh, tante Nadia. Dia masuk Dharmawangsa karena beasiswa." Wynter menambahkan. Megan melotot cantik ke arahnya. Bawel. Wynter malah mengedipkan matanya. Jahil.
"Waaah hebat..." Nata berseru dari teras. Ia sedang membereskan bambu bambu yang baru dibawanya. Menurunkannya dan menaruhnya dengan rapi di pojok teras. Nata sekalian memilah bambu-bambu itu untuk memudahkan pemakaiannya nanti.
"Ini jenis bambu apa?" Wynter ternyata sudah bergabung di dekatnya. Ia menunjuk satu ikat bambu dengan warna buluh hijau cerah kekuning-kuningan.
"Oh, ini bambu apus, batangnya kuat, liat dan lurus. Paling bagus untuk kerajinan anyaman." Nata menjelaskan dengan antusias. Ia senang jika ada yang tertarik dengan hobinya dan bertanya banyak hal tentang perbambuan.
"Owh.. I see. Seperti ini ya?" Wynter mengambil satu produk anyaman yang di display di dekatnya. Sebuah topi caping yang lebar. Ia mencobanya, menatap sekilas di cermin dan kemudian tergelak. "Hahaha... aku seperti tukang kebun di Dharmawangsa."
Nata terpingkal mendengarnya. Bunda Nadia dan Megan yang penasaran pun ikut keluar dari ruang tamu.
"Heiii... jangan sembarangan menyentuhnya,  nanti rusak." Megan mencopot topi anyaman di kepala Wynter dan mengembalikannya ke tempat semula. Wynter manyun.
"Kamu iri ya, ambil saja yang lain jangan ambil punyaku." Wynter hendak mengambil kembali topi capingnya.
"Mencoba berarti membeli loh, kamu mau beli?" Megan nyeletuk santai. Ia duduk di balai-balai di sudut halaman.
Mendengar kata-kata Megan tadi Wynter ragu mengambil kembali topi yang mendadak membuatnya jatuh cinta pada bambu.
"Ambil saja nak Wynter. Megan cuma bercanda." Bunda Nadia memberikan topi caping anyaman ke Wynter lagi. Wynter menatap dengan--apakah aku harus membayar?—
"Hadiah dari tante, buat bule kece kayak kamu yang mau nemenin Megan muter-muter nyari rumah tante."
Senyum Wynter mengembang. Megan bersungut-sungut di balai-balai. "Bule karbitan ini terpaksa nemenin karena mau betulin baju seragam batiknya yang ketumpahan saus barbeque tante, bukan karena ikhlas nemenin aku."
"Terus gimana bajuku, bisa enggak? Kalo sampe enggak bisa juga... alamat berurusan lagi sama miss Jansen." Wynter seperti baru kembali ke alam nyata. Kenapa ia bisa lupa pada tujuan semulanya mengikuti perjalanan enggak jelas ini.
"Tuh, kan, tante dengar sendiri..." Megan tak menyahut malah mendekati Bunda Nadia yang kini juga sibuk bersama Nata memilah bambu yang dibawanya.
"Tante Nadia, apakah benar punya bahan yang sama dengan seragam batik Dharmawangsa?" Wynter mendekati mereka kemudian duduk di kursi bambu. Tak ada jawaban. "Aku sudah ke Mami Betty dan Madame Cahya tapi mereka tidak punya kain dengan corak yang pas. Kata Nana, cukup dibongkar bagian lengan yang terkena saus dan ganti dengan kain yang senada. Tante Nadia ada, kan?" Wynter nyerocos lagi.
Megan mendongak, menaikkan alis memberi kode--jangan banyak tanya, terima beres aja.
"Bagaimana aku mau terima beres, belum jelas gini." Darimana dia tahu aku ngomong begitu dalam hati? Megan mengernyitkan dahi. Kenapa dia enggak minta seragam baru saja, itu lebih simpel daripada membebaniku urusan ini.
"Masalahnya di sekolah stok seragam batik sedang kosong, dan batik itu dipakai hari Kamis." lagi-lagi Wynter seperti tahu isi hati Megan.
"Sekarang sudah hari selasa... kamu yang menumpahkan saus itu ke bajuku jadi kamu yang harus bertanggung jawab," pungkas Wynter.
"WYNTER MAHARDHIKAAA... STOOOPPP...!!" Megan berdiri berkacak pinggang. Nata dan bunda Nadia bangkit dari duduk bersilanya. "Baru tahu aku, ternyata bule yang jadi rebutan cewek se-Darmawangsa sebawel ini," ujar Megan sinis.
"Kamu tuh ya..."
"Hahaha..." diluar dugaan Nata malah tertawa. Membuat adegan adu mulut Megan dan Wynter terhenti.
"Hushh Nata, enggak boleh begitu," Bunda Nadia mengangkat jenis bambu lain yang baru dikumpulkannya. Membawanya ke dekat balai-balai.
"Abisnya mereka berdua lucu bunda. Kata temanku kalo yang sering berantem itu berjodoh loh..."
"Whaaat..?! "
"Apaaaa...?!"
Megan dan Wynter berteriak bersamaaan.
"Waaaahhhh ada cowok ganteng, bule lagi...kece banget,"
"Nataaaa, siapa kakak bule yang ganteng itu? Boleh dong kita dikenalin..."
Dua gadis cilik datang menerobos rumah Nata dan terpana melihat sosok Wynter. Di belakangnya ada enam anak lagi sebaya mereka. Sepertinya itu teman-teman Nata.
"Heiii kalian kok lebay amat sih... kakak ini enggak lebih ganteng dari aku!" seru anak laki-laki paling kecil diantara mereka. Ia juga berpenampilan bule dan langsung menghampiri Wynter. Diikuti ketujuh anak lainnya. Dua anak cewek yang tadi heboh langsung mengulurkan tangan pada Wynter.
"Kakak, kenalin... aku Ajeng, kelas 5 di SD Generasi Merdeka." Gadis kecil itu meraih tangan Wynter yang tak juga mau menyambut uluran tangannya. Sementara Nata menatap adegan itu dengan pandangan yang tak bisa dilukiskan. Megan menangkap gelagat itu dan ia menjentikkan jari. Ahaaa!!!
"Kakak, kalo aku Lady kelas 6 di SD Generasi Merdeka juga, rumahku tiga rumah dari sini." Gadis cilik berjilbab manis di sebelah Ajeng ikut mengulurkan tangannya. Wynter keki dibuatnya. Ia terpaksa tersenyum tipis. Matanya menatap satu gadis kecil lagi yang seakan tidak peduli padanya. Gadis bertopi rajut warna ungu itu malah duduk di balai-balai, seperti tidak tertarik pada Wynter.
"Waah ada Formasi 8, tumben sekali ada perlu apa ke sini?" Bunda Nadia menghampiri empat anak lagi yang masih berdiri di dekat gerbang rumahnya.
"Keo, Toby, Timika, Wamena.. ayo sini gabung ada saudara jauh tante yang sedang berkunjung bersama temannya." Bunda Nadia menarik tangan Keo untuk duduk juga bersama Noaki. Toby, Timika dan Wamena juga ikutan duduk bersama.
Nata menghampiri mereka, "Noaki kenapa, sepertinya ada sesuatu?"
"Kami ada tugas membuat kerajinan dari bambu di sekolah, kamu bisa ajarin kita semua kan, Nata?" Yang menjawab malah Keo.
"Betul...betul itu," timpal Timika dan Wamena, mengangkat jempol berbarengan. Noaki tersenyum mengiyakan.
"Lady,  Ajeng... sini! Kalian mau bikin apa..." Noaki turun dari balai-balai hendak menghampiri Ajeng dan Lady yang sepertinya penasaran dengan Wynter. Keo mencegahnya.
“Siapa sih cowok bule lebay n sok kecakepan itu, Nat?" Keo melirik Wynter sekali lagi.
"Namanya Kak Wynter. Tamunya bundaku. Eh, pacar tamunya bundaku. Tamunya bundaku yang itu... Kak Megan." Nata menunjuk Megan yang sedang bersama bunda Nadia, kini mereka sudah beralih ke pekerjaan lain. Memotong kain seragam batik Wynter. Ya, bunda Nadia dulu pernah menjadi penjahit seragam Darmawangsa, untung saja masih ada sisa kainnya. Jadi bisa untuk mengganti lengan baju Wynter yang terkena saus barbeque.
Rumah Nata yang baru ini halamannya sedikit lebih lebar dari rumah lama. Ia pindah ke Buciles atas saran anak-anak Formasi 8 juga, dengan alasan agar mereka bisa lebih dekat. Nata juga lebih dekat dengan personil TRICK-nya. kebetulan ada sebuah rumah dekat dengan rumah Lady yang akan dijual. Atas bantuan Ibu Noaki, prosesnya tidak berbelit-belit sehingga Nata dan Bunda Nadia bisa segera menempati rumah itu.
Halaman rumahnya luas, seperti rumah Seb, rumah Nata juga mempunyai saung balai-balai yang digunakannya sebagai area workshop dan display hasil hobinya terhadap bambu-bambuan. Anyaman, ukiran dan kerajinan lainnya. Di sebelah kanannya ada sedikit ruangan terpisah--mungkin bekas warung--yang digunakan bunda Nadia sebagai tempat workshop menjahitnya. Keren ya, workshop anyaman dan menjahit saling berdampingan.
"Jadi Kak Wynter itu sengaja datang sama pacarnya ke tempatmu cuma mau membetulkan seragam batik sekolahnya?" Toby ikutan nimbrung. Nata mengangguk.
"Cuma seragam aja sampai sebegitunya, bilang aja mau jalan berdua sama pacarnya. Orang dewasa kadang belibet pikirannya." Keo menarik napas. Ingat dengan Kak Tenno yang naksir Kak Rumi dulu, hebohnya minta ampun.
"Tapi coba lihat... mereka sepertinya suka sama Kak Wynter." Kata-kata Toby barusan sukses mengalihkan padangan Nata dan Keo ke arah Wynter yang sedang dikerubuti Ajeng,  Lady dan Noaki. Sejak kapan Noaki ikut bergabung bersama mereka. Malah asyik cekikikan juga. Tertawa mereka sumringah sekali. Keo bangkit dan menyusul bergabung. Nata menaruh sembarang bambu-bambu apus yang baru dibelahnya lalu mengikuti Keo. Tinggal Toby yang tak tertarik, ia merapikan bambu yang masih basah itu,  warnanya masih hijau dan tidak keras. Kata Nata harus dijemur dulu beberapa hari jika ingin digunakan. Bambu apus yang sudah kering warnanya akan berubah menjadi putih kekuning-kuningan, liat dan tidak mudah putus. Nata menyimpan banyak stok bambu apus kering. Bambu ini yang paling cocok untuk dijadikan bahan utama kerajinan anyaman.
"Hei, kalian... ayo dikerjain tugasnya, mumpung Nata lagi kosong mau ngajarin kita." Keo menarik lengan Noaki agak bergeser ke samping, Wynter menatap Keo dengan tatapan 'hei kid, what's wrong with you'
"Keo, Kak Wynter ini sekolah di Darmawangsa loh, katanya kamu mau sekolah di sana juga," ujar Noaki antusias.
"Oyaaaa? Can't wait, pasti kamu punya banyak kelebihan." Wynter menyodorkan tangan, Keo terpaksa menyalaminya. Apa ada yang aneh denganku? Aura ketidaksukaan jelas terpancar dari anak bertelinga lancip ini. Wynter berusaha tak mengabaikannya. Dilihatnya Nata pun demikian. Tapi ketiga gadis cilik yg bersamanya biasa saja.
"Kalian semua satu sekolah?" Wynter berusaha mencairkan suasana. Kenapa mesti jadi aku yang repot menghadapi anak-anak ini,  sih.
"Iya, Kak. Kami satu sekolah di Generasi Merdeka,"
"Tapi beda beda kelasnya."
"Cuma Nata yang sudah SMP, SMP mana kamu Nata sekolahnya?"
Ketiga gadis cilik itu kembali berceloteh menanggapi Wynter. Sementara Nata dan Keo manyun.
"Kalian ada tugas membuat anyaman?" tanya Wynter, ia duduk di lantai dekat display hasil karya Nata. Ajeng, Noaki dan Lady kompak mengangguk dan ikut duduk di lantai. "Apa aku boleh bergabung, sepertinya asik belajar membuat anyaman dari bambu..."
"Tidak..."
"Jangan..."
Keo dan Nata kompak bersuara.
"Kalian berdua kenapa?" Kali ini Noaki dan Ajeng yang berbarengan, menatap Keo dan Nata bergantian.
"Hahaha...." Lady tertawa sendiri. "Aku tahu... aku tahu..." Lady menjentikkan jari.
"Aku mau ke Seb dulu ya, kalian baik-baik di sini jangan perang urat syaraf." Lady mengedipkan sebelah matanya pada Keo dan Nata.
"Apaan sih?!" kompak lagi mereka merespon kepergian Lady menghampiri Seb yang sedang membantu Megan membereskan kain-kain jahitan Bunda Nadia.
"Jadi kamu ini loncat kelas, ya... jenius dong." Megan memuji. Wajah Seb bersemu merah. Matanya tak berkedip memandang cewek berkacamata itu. Sepertinya Seb terpesona dengan lesung pipitnya.
"Hei, kenapa melihat aku seperti itu?" Megan menjawil pipi Seb. Seb merasa seperti ada sesuatu yang menjalar, membuatnya menarik senyum simpul.
"Wajah Kak Megan terlihat cantik karena ada lesung pipitnya," ucap Seb jujur.
"Iihhh, kamu lucu banget sih...polos amat." Megan tertawa, ia mencubit gemas pipi Seb. Kali ini membuat Seb bengong seketika.
"Woiii, Seb...Sebastien Kresna Teaver!" Lady mengembalikan Seb ke alam nyata.
"What's up?" Seru Seb gelagapan. Megan tertawa lagi.
"Teman kamu lucu ya... jenius pula." Megan menggeser duduknya membiarkan Lady menempati tempatnya.
"Kak Megan, teman-temanku suka sama Kakak bule itu loh..." lapor Lady.
Megan menoleh ke arah Wynter yang masih sibuk menjawab pertanyaan fans barunya. Ajeng dan Noaki. "Kak Megan enggak marah..." Megan terkesiap. Lady menunggu. Lantas Megan tertawa ngakak.
"Kalian pikir aku dan Wynter..."
"Kak Wynter pacarnya Kak Megan, kan?" Lady memastikan.
"Whaaattt...!?" Megan dan Wynter berteriak bersamaan.
"Kalian bukan pasangan?" Seb menarik Wynter dan mendekatkannya pada Megan. Wynter menatap Megan dengan tatapan 'how... aku mesti ngomong apa?' Bukan ding mestinya tatapan 'karena kamu, aku jadi terjebak sama abege-abege ini'.
"We just..." Megan dan Wynter mencari kata yang tepat. Semua mata memandang ke arah mereka. Termasuk bunda Nadia.
"Mereka cuma teman... just a friend, ya kan?" Suara itu terdengar dari gerbang, tak lama nongol wajah yang akhir-akhir ini menggangu pikiran Megan.
"Ardi... darimana kamu tahu aku di sini?" Megan terkejut sekaligus senang melihat sosok Ardi hadir di hadapannya. Tapi rasa senangnya itu tak diperlihatkannya.
"Nah, itu dia baru pacarnya," celetuk Wynter santai yang akhirnya membuat Megan mendaratkan tinju ke bahunya.
Sebelum adu mulut antara keduanya terjadi lagi Bunda Nadia menyerahkan bungkusan kepada mereka.
"Baju seragamnya sudah jadi, silakan dicek..."
Wynter menerimanya dengan perasaan takjub.
"Lama sekali kamu datang, aku sampai bete diusilin anak-anak itu..." Wynter menggerutu. Ia dan Ardi duduk di balai-balai memperhatikan Nata yang sedang mengajari Formasi 8 membuat sumpit yang ada ukiran unik di ujungnya. Megan memesan satu pada mereka. Senjata sakti kata Wynter.
"Aku juga hampir bete nungguin kabar kamu... kupikir kamu lupa janjimu mendekatkan aku sama Megan." Ardi juga tak kalah menggerutu.
"Aku enggak ada kesempatan mengirim pesan... padahal butuh bantuan banget menghadapi mereka. Sendirian. Tanpa Wynn dan Hya pula." Wynter menarik napas.
"Kamu kan biasa sendiri, kalo aku... biasa menunggu." lirih Ardi hampir tak terdengar.
*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran