Rea dan Tetangga Sebelah Rumah (sebuah cerpen)
Lelaki tinggi berkacamata itu kembali menyapa Rea. Kali ini Rea yang sedang menyiram tanaman di depan rumahnya menjadi sedikit kikuk.
"Sedang apa, Mbak Re?" tanyanya. Lelaki itu bahkan mendekat ke pagar sebelah. Kedua tangannya menopang dagu.
"Menyiram bunga, Mas," sahut Rea sedikit tersenyum.
"Setahu saya Kamboja Jepang tidak boleh terlalu sering disiram, Mbak," tutur lelaki itu lagi.
"Begitu, ya." Rea mulai tak nyaman. Lelaki itu terlalu banyak bicara untuk ukuran tetangga baru. Rea memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
"Mbak Rea ..." panggil lelaki itu lagi.
"Maaf, saya sedang memasak di dapur." Ucap Rea lalu meninggalkan tetangga barunya itu.
Pandangan lelaki itu mengiringi Rea hingga masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Rea mengintip dari balik tirai jendela. Lelaki itu masih di posisi semula. Berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari pintu rumah Rea.
Rea menarik napas. Ada sesuatu yang aneh dengan tetangga barunya itu. Tapi apa?
*
Rea menyiapkan secangkir capucinno hangat dan sepiring cake ubi ungu. Lalu membawanya dengan baki bergambar mawar merah darah ke teras depan.
Rea menghentikan langkahnya saat dari balik pintu ia melihat Radit--suaminya--sedang berbincang seru dengan lelaki tetangga baru sebelah rumah.
Kening Rea berkerut, Radit dan lelaki itu tertawa renyah. Radit mengajak tetangga baru itu untuk mengobrol di teras.
Rea menarik napas, kenapa Radit malah mengundang lelaki itu. Rea tidak suka padanya, entah kenapa.
"Sebentar, saya minta istri membuatkan minuman hangat untuk kita. Anda suka capuccino?" tanya Radit.
Lelaki itu tersenyum, "Boleh, jika tidak merepotkan," sahutnya.
Radit masuk ke dalam dan mendapati Rea yang berdiri di balik pintu.
"Kenapa tidak dibawa keluar?" selidik Radit begitu melihat baki yang dipegang Rea.
"Mas aja yang bawa keluar, nih, aku masih ada pekerjaan di dapur." Rea meletakkan baki itu di meja tamu. Radit menatap bingung istrinya yang buru-buru melenggang ke dapur.
"Dek, satu lagi capuccinonya," ucap Radit agak keras. Rea tak menyahut ia hanya mengangkat tangan sebagai isyarat ia sudah mendengarnya.
*
"Laki-laki itu bicara begitu, Mas?" Rea terperanjat. Radit mengangguk tenang tanpa ekspresi.
"Serius?!" Rea kembali memastikan. Lagi-lagi Radit mengangguk.
"Gila! Laki-laki itu beneran gila!" umpat Rea akhirnya. Rea kesal melihat sikap Radit yang biasa saja.
"Kok gila?" Radit mengikuti Rea yang berjalan cepat menuju kamarnya.
Rea duduk di pinggir ranjang, meremas-remas tangannya, napasnya turun naik.
"Bagaimana mungkin seorang lelaki beristri mengaku menyukai istri tetangganya sendiri hanya karena wajah dan nama istri tetangganya itu mirip dengan mantan kekasihnya dulu. Dan dia menceritakan itu pada lelaki yang istrinya dia sukai itu. Kalau bukan gila lantas apa namanya?" gerutu Rea.
Radit pun menarik napas, tak ingin menimpali kekesalan Rea. Radit tahu, jika ditimpali--apalagi tidak sesuai harapannya--bisa dipastikan Rea akan terus bicara tanpa henti, bahkan bisa jadi topik akan melebar.
"Pantas aja sikapnya aneh begitu sama aku Mas, sering nyapa nggak jelas. Bagaimana mungkin sudah beristri tapi masih menyimpan kenangan mantan. Kenangan yang lain kek yang disimpan, lah ini ... mantan? Mantan mah udah enggak usah dingat lagi ... awas kalau Mas Radit juga begitu!" ancam Rea setelah nyerocos panjang lebar.
"Loh kok Mas yang kena sih, Dek?" Radit beringsut mengambil seragamnya.
"Aku kesal kenapa Mas diam aja?" Rea menoleh.
"Maksudmu?"
"Apa reaksi Mas saat tetangga itu cerita? Mas tidak marah padanya? Aku aja yang mendengarnya langsung kesal begini." Nah, kan, salah lagi. Maksud Radit diam sebenarnya tak ingin membuat marah Rea berkelanjutan.
"Aku harus bagaimana, dia kan cuma cerita. Lain soal kalau dia merebutmu dariku?" tukas Radit santai. Ia malah sibuk menyisir rambutnya di depan cermin. Sebentar lagi jadwalnya nge-gym.
Radit lelaki yang biasa saja, terlanjur biasa malah. Ia tak suka mengambil pusing urusan yang tak penting. Mungkin itu alasan kenapa ia tak marah saat mendengar tetangganya dengan jujur bilang padanya kalau ia suka dengan istri Radit.
Rea ingat saat beberapa kali satpam kompleks menggodanya. Radit santai saja melihatnya. Tapi begitu satpam itu akan menyentuh bahu istrinya, dengan cepat Radit menangkap tangan jahil itu dan memutarnya hingga telapak tangannya menghadap wajahnya sendiri dan Radit siap mematahkan satu persatu jari-jarinya.
Dan sejak saat itu, satpam itu menaruh takjim pada Radit yang ternyata adalah instruktur gym di ruko depan kompleks.
"Anggap saja lelaki itu fans setiamu, tidak usah terlalu dipusingi." pungkas Radit seraya menutup pintu kamar.
"Huhh!"
*
"Kenapa kamu menyebut namanya
lagi?"
"Maaf, aku tidak bermaksud mengingatnya lagi,"
"Aku tahu, ini pasti karena tetangga sebelah, kan?"
Rea yang sedang menyapu halaman tanpa sengaja menangkap pembicaraan kedua suami istri tetangga sebelah rumahnya. Lelaki itu menenangkan istrinya yang sedang cemburu.
'Tapi kenapa, tetangga sebelah juga disebut-sebut?' Kening Rea berkerut.
"Ayo, malah bengong,"
"Sssttt ..." Rea spontan menempelkan ujung jari telunjuknya di bibir mungilnya. Radit yang tak mengerti terpaksa menurut.
"Kenapa?" tanya Radit sambil berbisik.
"Tetangga sebelah sedang cekcok?" sahut Rea pelan. Berjalan sebentar ke bawah pohon mangga manalagi untuk menaruh sapu lidinya.
"Terus apa hubungannya sama kita? Adik menguping, ya?" Radit bersedekap tanda ia tak setuju.
"Hahaha ..." Rea malah tertawa.
"Kok malah tertawa,"
"Mas lucu. Dari dulu tidak berubah, kalau marah pasti seperti itu. Cuma sekarang tidak ada adegan buang mukanya," tutur Rea diselingi tawa kecilnya yang khas.
"Aku bukan anak kecil lagi yang suka meniru adegan iklan itu," timpal Radit pura-pura marah.
"Yang iklan memang anak kecil tapi Mas sampai SMA masih berakting seperti
itu," seloroh Rea tak berhenti tertawa.
Adegan iklan anak kecil yang marah sambil bersedekap dan membuang muka memang tren waktu Rea dan Radit masih kecil. Usia mereka tak terpaut jauh, hanya berbeda dua tahun, lebih tua Radit. Dan keduanya adalah teman masa kecil.
"Akting katamu?" Radit mengangkat sapu lidi di sampingnya.
Rea berpura-pura menyerah dan bersimpuh, "ampuni hamba paduka raja," ujarnya sambil terkekeh. Radit dan Rea tertawa berbarengan.
"Lucu banget mereka Mas,"
"Mereka romantis, kan?"
Rea dan Radit menghentikan tawa mereka. Dan menoleh ke arah asal suara.
Tetangga sebelah. Lelaki itu bersama istrinya ternyata sedang memperhatikan mereka dari balik pagar samping rumah. Entah sejak kapan.
Radit melambaikan tangan. Rea tersenyum kecil.
Kedua tetangga baru itu membalas dengan melambaikan tangan malu-malu. Sepintas Rea menangkap pandangan aneh dan senyum lelaki itu ke arahnya. Rea berpura pura menoleh Radit, Radit tak bereaksi apa pun. Ia hanya melangkah santai menuju tembok setinggi satu meter, penghalang rumah mereka dengan tetangga barunya.
Duggh!!
Radit meninju wajah lelaki itu tanpa babibu lagi. Rea terperangah.
"Ya ampuuun Maas!" istri lelaki itu terkejut melihat hidung suaminya mengeluarkan darah segar. Ia menatap Radit dengan kesal.
"Kenapa Mas Radit meninju wajah suami saya?!" tanyanya berapi-api.
"Masih mending hidungnya yang kutinju, lain kali matanya kubuat buta. Jangan seenaknya memandang istri orang lain. Apalagi ada istri sendiri di sebelahnya. Ajari suami kamu menjaga pandangannya atau kubuat ia tak berani lagi ke luar rumah selamanya." Omel Radit beruntun seperti tanpa helaan napas.
Lelaki itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya menunduk sambil memegangi hidungnya sejak tadi. Sementara istrinya menyenggol tangannya dan menariknya turun dari tembok pembatas rumah mereka.
"Hahaha ... mulai besok kuminta pemilik rumah sebelah menaikkan tembok pembatas ini." Tegas Rea seraya menyungging senyum tipis.
****
Komentar
Posting Komentar