Utang (sebuah cerpen)



Satu cerpen lawas yang saya tulis beberapa tahun lalu.
Selamat menikmati...

Utang

"Jeng Ikke, saya pinjam uang lagi dong dua ratus ribu. Ini buat biaya study tour si sulung Jeng," Bu Septi kembali datang ke rumah Ikke. Tanpa permisi dan tidak mengucapkan salam, kini ia telah berada di dapur Ikke. Ikke yang sedang menyiangi sayuran dibuatnya terkaget-kaget.

"A..." Ikke baru akan mengangkat suaranya tapi saat itu juga Bu Septi memulai lagi jurus saktinya.

"Ayahnya enggak jadi dapat bonus minggu ini, Jeng. Makanya saya pinjam lagi. Bulan depan saya ganti, sekalian sama yang minggu-minggu lalu, ya." tutur Bu Septi penuh percaya diri seakan Ikke akan kembali memberinya pinjaman.

Selanjutnya mengalirlah celotehnya tentang pekerjaan suaminya yang mulai sepi orderan dari bulan kemarin. Apalagi dua anaknya membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit.

"Sekolah jaman sekarang Jeng, jalan-jalan melulu. Bulan lalu baru pergi ke museum apa gitu, eh, sekarang malah study tour ke kebun raya." seru Bu Septi panjang lebar. Ikke hanya tersenyum melihat mimik Bu Septi yang bercerita penuh semangat.

"Ealaaaah, Jeng Ikke kok malah senyum-senyum. Nanti kalau sudah punya anak baru deh merasakan repotnya,"

Deggg! Ikke menarik bibirnya ke samping. Senyum manisnya berganti kecut seketika. Ia berpura-pura mengalihkan pandangan  pada bawang merah yang akan dikupasnya.

"Duhh, maaf Jeng, saya enggak bermaksud..."

"Tidak apa-apa Bu Septi. Walaupun saya belum punya anak, saya mengerti kok perasaan Bu Septi. Ibu saya juga punya anak banyak," Ikke memaksakan lagi senyumnya.
"Masalah study tour si sulung, mungkin gurunya ingin membiasakan muridnya untuk belajar dan mencari informasi dari luar sekolah, Bu Septi. Kan, bosan kalau belajar di dalam kelas terus," Ikke menuju wastafel di sudut dapur dan mulai mencuci sayurannya.

"Oalaaaah, belajar kok mesti jauh-jauh Jeng. Kenapa juga harus study tour segala, buang-buang uang namanya. Iya, kalau orang tuanya ada uang, kalau enggak ada uang seperti saya? Ujung-ujungnya jadi pinjam ke tetangga deh," sahut Bu Septi, kelihatannya ia semakin jengkel. Ingin rasanya Ikke menimpali 'kenapa Ibu protes ke saya Bu, protes saja ke sekolah langsung'.

Ikke menarik napas. Kalau sudah begini pasti Bu Septi tidak akan berhenti nyerocos jika keinginannya belum terpenuhi. Tetangganya yang satu ini memang sudah terkenal hobi mengutang sana sini. Rumah Bu Septi berhadapan dengan rumah Ikke, ia mempunyai tiga orang anak. Rama, sulungnya sudah kelas dua SMP. Tiara, si tengah duduk di kelas empat SD dan si bungsu Alya masih TK.

Bu Septi juga terkenal ceplas ceplos dan 'tak punya malu'. Itu artinya, dengan orang yang baru dikenal pun ia akan berani mengutang.

*

"Hati-hati dengan yang di depan rumah loh, Jeng Ikke," seru Bu Sastro saat mereka sedang memilih sayuran di tukang sayur keliling. Bu Sastro tetangga sebelah kanan Ikke, suaminya seorang pejabat PNS dengan gaji yang lumayan. Terlihat dari penampilan Bu Satro yang seperti tukang emas berjalan. Lengannya dihiasi gelang yang bergemerincing tiap tangan itu digerakkan. Begitu juga dengan cincin yang berderet rapi di jari jemarinya.

"Tetangga kita itu hobinya 'minta', Jeng," sahut Bu Joko yang tinggal di sebelah kiri rumah Ikke. Ibu muda ini seumuran dengan Ikke dan sudah dikaruniai dua orang anak kembar, laki laki dan perempuan. Bu Joko pintar membuat kue, Ikke sering kebagian jatah mencicipi. Namun akhirnya 'dipaksa' untuk memesan kue-kue itu besok paginya. Anti dan Anto, anak Bu Joko, sering main ke rumah Ikke dan meminta Ikke membacakan buku cerita untuk mereka.

"Ehh, bukan minta Bu Joko. Dia mah hobi ngutang sana sini. Saya aja pernah jadi korbannya." Timpal Bu Fatimah yang asli Betawi. Bu Fatimah ini tinggal di sebelah Bu Septi. Bu Fatimah dan Pak Mudin asli Jakarta, dulunya tinggal di daerah Lebak Bulus sebelum terkena penggusuran. Akhirnya mereka pindah ke kompleks ini dan dipercaya jadi pejabat RT.

"Masa sih, ibu-ibu?" Ikke yang tadinya hanya jadi pendengar setia akhirnya menimpali juga. Gerobak sayur Mang Karim sering sekali dijadikan ajang gosip ibu-ibu di kompleks tempat Ikke tinggal. Mang Kasim pun tak melarang selama tidak terjadi keributan, katanya.

Ikke yang baru saja pindah seminggu lalu harus terbiasa dengan ibu-ibu tetangganya yang kebanyakan tidak bekerja dan dengan usia dan asal yang berbeda-beda. Ikke mengikuti suaminya yang dipindahtugaskan, dan akhirnya Ikke harus merelakan melepas karirnya sebagai staff marketing di perusahaan otomotif. Ikke juga berharap dengan pindahnya mereka dan tidak bekerjanya Ikke, Tuhan bisa lebih cepat memberikan mereka momongan. Ikke dan Rio sudah menikah dua tahun dan belum juga dikaruniai anak.

"Inget ya Jeng, jangan sekali sekali dikasih nanti jadi keterusan." Bu Sastro berpesan lagi setelah membayar semua sayuran yang dibelinya. Ikke membalasnya dengan senyuman.

"Biasanya dia akan 'nempel' terus sama orang baru, kalau sama kita-kita dia udah kapok Neng," Bu Fatimah menambahkan. Ia memasukkan bayam dua ikat, satu jagung manis dan beberapa buah tempe kecil yang dibungkus daun pisang berbentuk segitiga.

"Nempel? Kayak perangko dong, Bu Fat," Mang Karim menimpali. Ibu-ibu tertawa mendengarnya.

*

Terpapar jelas percakapan Ikke dengan ibu-ibu kompleks tempo hari. Dan ia saat ini sedang berada di situasi yang mereka bicarakan. Sebenarnya bukan kali ini saja Bu Septi datang tergopoh-gopoh meminjam uang padanya. Dua minggu lalu Bu Septi sudah meminjam seratus ribu untuk ongkos suaminya berangkat kerja. Kilahnya, atm suaminya diblokir karena ia salah memasukkan pin lebih dari tiga kali.

"Jeng, ada kan, uangnya? Anak saya nunggu di rumah, sudah mau berangkat sekolah," suara Bu Septi memecah lamunan Ikke.

"Iya bu sebentar." Ikke melangkah ke kamarnya. Mengambil uang yang tersisa tiga lembar saja di dompetnya. Ditimangnya sebentar uang itu. Uang itu adalah persediaannya untuk seminggu ke depan sebelum suaminya menerima gaji.

*

"Bukannya Adik sendiri yang bilang, kata tetangga Bu Septi itu suka mengutang sana sini dan susah untuk membayar?" tukas Rio saat Ikke menceritakan kedatangan Bu Septi kali kedua minggu lalu.

"Iya sih Mas, tapi aku tidak tega. Bu Septi itu kelihatannya butuh sekali. Anak bungsunya harus ke dokter sore tadi, kalau tidak, aku takut anaknya tidak bisa tidur semalaman." cerita Ikke dengan wajah pias. Rio tahu Ikke memiliki jiwa mudah berempati dengan penderitaan orang lain. Tapi ia juga takut kalau sifat istrinya ini akan disalahgunakan oleh orang lain. Apalagi Bu Septi yang menurut Rio memiliki track record yang jelek. Padahal sebelumnya Bu Septi telah meminjam uang untuk ongkos suaminya.

Rio menjadi kehilangan selera bacanya.
"Kamu ini Dik, terlalu dibawa perasaan. Anak orang yang sakit kok kamu yang ketakutan," timpal Rio lalu menaruh buku yang tidak selesai dibacanya ke rak buku di sebelah meja rias. Selanjutnya Rio merebahkan diri di tempat tidur dan membiarkan Ikke yang masih termenung di kursi riasnya.

"Sudah pasti tidak bisa tidur Mas, kalau alergi begitu badan pasti panas dan gatal-gatal seluruh tubuh. Aku pernah mengalaminya waktu kecil." Ikke menarik napas, melirik suaminya yang kini sudah berselimut rapat.

"Tadi sore Adik sudah meminjami Bu Septi uang kan, berarti anaknya sudah tertidur pulas sekarang." tukas Rio dari balik selimutnya. Ikke tak menyahut. Ia akhirnya membaringkan tubuhnya juga di samping Rio. Ikke berharap anak Bu Septi cepat sembuh dan Bu Septi ingat untuk membayar utangnya minggu depan.

*

Percakapan Ikke dengan suaminya minggu lalu terngiang lagi. Berarti sudah dua minggu berturut-turut Bu Septi mendatanginya untuk meminjam uang. Dan saat ini adalah minggu yang dijanjikan Bu Septi tempo hari. Alih-alih membayar utangnya minggu lalu dan minggu sebelumnya pada Ikke, Bu Septi malah berutang lagi padanya. Ikke bingung, haruskah ia kembali memberi pinjaman? Padahal ini uang Ikke untuk belanjanya seminggu ke depan.
Tapi sepertinya Bu Septi lebih membutuhkannya. Jika tidak dibayarkan hari ini anaknya tidak akan bisa ikut study tour besok.  Ikke menarik napas panjang. Semoga apa yang diputuskannya kali ini benar.

"Nah, dari tadi dong, Jeng, jadi saya enggak lama nunggu," tukas Bu Septi yang langsung mengambil uang dari tangan Ikke sebelum Ikke memberikan uang itu padanya. Ikke tersenyum kecil menanggapinya. Pasti ini sikap Bu Septi yang disebut 'tak tahu malu' oleh para tetangganya.

"Terima kasih banyak ya Jeng, Jeng Ikke memang tetangga yang paling baik dan sangat pengertian." ujar Bu Septi memuji.

"Ah, tidak apa-apa kok, senang bisa membantu." sahut Ikke sambil mengantar tamunya keluar.

Sambil berjalan menuju beranda mata Bu Septi menangkap bingkisan buah yang diletakan di atas meja ruang tamu Ikke.

"Baru dapat hadiah ya, Jeng? Saya ambil jeruk dan anggurnya, ya," tanpa menunggu persetujuan Ikke, Bu septi telah membuka plastik pembungkus bingkisan buah itu. Lalu ia mengambil tiga buah jeruk dan setangkai anggur merah.

"Ya, Bu, silahkan." sahut Ikke pendek. Sebenarnya itu buah buahan yang baru dibeli Rio untuknya semalam. Ikke lupa menaruh buah itu ke dalam kulkas.

"Anak-anak suka banget sama buah buahan. Nambah apelnya dua ya, Jeng." karena tangannya sudah tak bisa menampung buah yang diambilnya, Bu Septi menaruh dua apelnya di saku bajunya. Ikke menatapnya tanpa kedip.

"Terima kasih banyak ya, Jeng Ikke. Sering-sering ya kayak gini, biar rezekinya lancar." Bu Septi berlalu dari hadapan Ikke dengan senyum senang.

"Aamiin Bu Septi." sahut Ikke tersenyum tipis. Sambil menutup pintu rumahnya Ikke mengurut dada. akhirnya Bu Septi keluar juga dari rumahnya.

***

Sabtu siang Ikke dan Rio jalan-jalan ke taman dekat rumah. Di sana Ikke biasa duduk di bangku taman dan tidak bosan memperhatikan anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak itu tertawa riang sambil berkejar-kejaran. Ikke tersenyum melihatnya. Ia membayangkan dirinya sedang bermain kejar-kejaran dengan anaknya. Jika sudah begitu tanpa terasa mata Ikke akan basah.

"Aku sudah bilang, kita tidak usah ke taman. Kita ke mal saja, yuk, ke toko buku." Rio menyentuh bahu istrinya. Ia tak ingin Ikke berlama-lama bersedih. 

Akhirnya mereka pergi ke toko buku di mal dekat rumah. Rio ingin mencari buku filsafat dan Ikke juga ingin mencari buku panduan tentang keterampilan. Ketidakhadiran seorang anak membuat Ikke bosan sendirian di rumah.

"Dari pada ngerumpi sana sini mending cari kesibukan yang lebih bermanfaat, ya, kan, Mas?" Ikke mengambil buku panduan craft. Aneka kerajinan tangan yang unik dan cantik dari bahan flannel dan bahan lainnya.

"Nah, ini baru namanya istri salehah," pujian Rio membuat Ikke tersipu.

"Ya ampuuun..." Ikke membelalakan matanya. Ia berjalan cepat menuju kaca toko buku untuk melihat keluar lebih jelas. Ia ingin memastikan apa yang dilihatnya. Rio mengikutinya dengan terburu-buru.

"Ada apa?"

"Itu..." Rio mengikuti arah telunjuk Ikke.

Dilihatnya Bu Septi bersama suami dan dua orang anak perempuannya di seberang toko buku. Mereka sedang duduk manis di sebuah restoran cepat saji. Tampak Alya si bungsu sedang menikmati eskrim. Mulutnya belepotan eskrim.  Sementara Bu Septi bersama suaminya dan Tiara sepertinya sedang menunggu pesanan yang belum datang. Dari nama restorannya sudah bisa dipastikan itu adalah restoran yang menyajikan makanan asing dan mahal.

"Itu Bu Septi dan keluarganya, kan?" Rio berbisik.

Ikke mengangguk. Tak lama kemudian datang pelayan membawakan makanan ke meja Bu Septi. Mereka tersenyum senang. Hidangan yang tersaji banyak sekali hingga memenuhi meja.

Ikke menutup mulut saking kagetnya. Baru kemarin Bu Septi memohon meminjamkan uang untuk bayar study tour anak sulungnya. Katanya ia tidak punya uang karena suaminya tidak jadi dapat bonus minggu ini.Tapi sekarang? Mereka asik berpesta di restoran mahal. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran