Gelembung Gelembung Kenangan

Gelembung Gelembung Kenangan
Zya Verani

Saat menatapi tingkah anak-anak yang bermain di luar, ingatanku langsung terbawa ke masa itu. Ketika Re dan Vay juga asik bermain gelembung sabun di sana, di tempat yang sama. Di sana, di halaman luas penuh rumput dan dikelilingi aneka tanaman hias itu. Bedanya kini halaman itu tak lagi berpagar. Sengaja dibongkar beberapa hari lalu agar anak-anak bebas masuk untuk bermain.

Re meniupkan tangkai peniup gelembung sabunnya sementara Vay menunggu dengan antusias. Gelembung-gelembung berpelangi bermunculan dari ujung peniup Re, jumlahnya banyak sekali, ada yang besar juga kecil. Vay berlarian ke sana ke mari mengejarnya sambil tertawa riang. Gelembung terbang tak tentu arah membuat gadis kecil itu bingung menangkapnya. Tapi ia tak menyerah. Sibuk meloncat menggapai gelembung terdekat tapi tinggi. Dan... bukkk! Vay terjatuh. Re berhenti meniup. Segera dilemparnya wadah air sabun dalam genggamannya. Mencapai Vay yang meringis kesakitan. Re menggendong adiknya masuk ke dalam rumah dan melewatiku di teras. Re tersenyum dan mengatakan Vay baik-baik saja. Ia pasti melihat ekspresi khawatirku. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

***

Potongan-potongan kisah itu beterbangan seperti jutaan gelembung di kepalaku. Memaksaku menangis lagi. Meski berusaha untuk enggan. Tiap gelembung memiliki kisahnya sendiri. Aku tak mungkin bisa lupa. Semakin dilupakan semakin sulit hilang dan melekat erat dalam ingatan. Kenangan indah akan membuat bahagia bila mengingatnya. Pun kenangan luka... tentu akan berimbas sakit.

***

Semua suka pantai, meski telah berulangkali datang ke pantai mereka tak pernah bosan. Firman sedari kecil memang sudah akrab dengan pantai. Dulu waktu masih di Palembang kami tinggal di daerah pesisir. Kesehariannya diisi dengan pergi ke pantai. Mengantar Papa melaut, mencari kerang, menunggu Papa pulang dan membakar ikan di pinggir pantai.

Nada pun penyuka pantai. Ia seorang penulis feature sekaligus fotografer andal spesialisasi pemandangan apalagi pantai tak pernah luput dari bidikan kameranya. Bertemu dengan Firman si penyuka travelling maka kloplah mereka. Firman dan Nada menularkan kesukaannya pada keluarganya. Sejak Nada menunjukkan sunset hasil jeretannya di pantai Ancol dulu, Re dan Vay jadi 'penggila' pantai. Kepengin sekali--bahkan berkali-kali--melihat sunset. Mereka berdua akan mampu tak berkedip memandangi keindahan sunset dari awal muncul hingga tertelannya matahari di tengah laut.

Sore itu mereka duduk duduk di pinggir pantai tak jauh dari cottage kami. Sengaja membawa kursi panjang di depan cottage ke bibir pantai. Ayah, ibu dan dua anak berdesakkan di sana. Aku tersenyum melihatnya. Padahal dari teras saja sunset akan terlihat jelas.

Jingga kemerahan yang dinanti akhirnya muncul juga. Si oren terang pun seperti biasa memaksa formasi di kursi panjang amburadul. Nada bangkit lebih dulu, bersama kameranya ia mencari angel yang tepat untuk mengabadikan keindahan di depan matanya. Re dan Vay berlari lebih mendekat ke pantai seakan mereka ingin menghampiri senja kemerahan itu. Lima langkah dari titik air mereka terpaku memandang jauh ke depan. Tak menyadari ombak tipis-tipis menyapu kaki mereka. Terpesona dengan magis sunset yang begitu indah terpampang. Hanya Firman yang tinggal. Kursi panjang menjadi wilayah kekuasaannya. Baru saja akan mengangkat kaki ke atas, seseorang mengambil bagian dan duduk di sampingnya. Hatiku membuncah seketika. Ia menyusul ke sini.

***

Kusibak tirai jendela kamar. Mentari pagi menelusup masuk melalui celah jendela membentuk siluet tiang ranjang di lantai. Panjang-panjang dan membuat sedikit gelap area sekitar. Aku tak melihatnya, mungkin di balkon. Kebiasaannya di pagi hari, duduk menikmati teh chamomile bersama sepotong brownies keju kesukaannya. Sejak ku tak mampu lagi berjalan, murni Inah yang selalu membuatkan brownies untuknya--tentu saja dengan racikan resep dariku--Ia tak mau mencecap brownies lain selain yang dibuat dengan resepku. Terkadang Nada atau Firman membawa brownies sebagai buah tangan kepulangan mereka dinas luar kota. Ia tak pernah mau menyentuhnya. Sudahlah...

Derit kursi rodaku terdengar olehnya, ia menoleh dan segera bangkit menyambutku. Menuntun kursi rodaku mendekat. Bersama kami memandang langit biru cerah. Warnanya bersih tanpa noda. Seperti cintanya padaku yang tak pernah terkontaminasi apa pun, katanya. Memandang langit biru berlama-lama memberikan kepuasan batin, katanya lagi. Membuka pikiran untuk siap kembali bekerja menelurkan ide-ide segar, lagi-lagi katanya. Membuatnya tambah bersemangat menghadapi hari hingga sore nanti, akhir katanya. Ia selalu ingin menularkan hobinya itu. Menurutnya aku tak punya hobi yang jelas. Fokuslah akan sesuatu, kau pasti akan tenang, katanya.

***

Kini, aku di sini. Di balkon ini, berusaha menerapkan semua wejangannya setiap pagi. Menikmati langit biru, meresapi cerahnya, dan berharap kubisa bersemangat menghadapi hari seperti dirinya. Tapi... semakin kumenantap langit biru itu aku semakin jelas melihat wajahnya terlukis di sana. Tersenyum manis ke arahku dan bibirnya seakan berkata 'aku kuat dan baik-baik saja.'

Aku tak sanggup lagi. Napasku sesak bila berlama-lama di sini. Kenapa semua sudut memojokkanku dengan kenangan. Kamar tidur, halaman, balkon, dapur dan entah apalagi nanti. Apakah aku akan kuat seperti harapannya?

***

Aku terbangun dari tidur siang karena suara ribut-ribut. Sepertinya dari dapur. Inah memasak apa sih, rempong sekali. Suara protes Firman paling kencang terdengar. Disusul Re dan Vay. Tak biasanya mereka ramai begitu. Aku mendekat.

Seperti biasa, deritan kursi rodaku mengalihkan ceracau mereka yang bersahutan. Ternyata ada Papa dan Nada pula di sana. Mereka bungkam sambil tersenyum penuh arti saat aku menatap mereka bergantian menanti penjelasan.

Apa lagi yang membuat menantu dan ayah mertua ini sangat kompak dan sehati? Ya, menu kesukaan mereka. Jengkol. Tapi Firman membencinya setengah mati. Dan mendoktrin kedua anaknya untuk tak mengikuti jejak sang bunda menuhankan jengkol. Ya, si cantik Nada, perempuan enerjik laksana robot canggih mainan Re yang tak lagi memerlukan baterai untuk bergerak ini adalah 'jengkollovers' sejati.

Meski dua lawan tiga yang menang tetaplah Papa dan Nada, jadilah Inah mengeksekusi jengkol pagi itu. Sepertinya kecurigaanku benar, Inah juga suka makanan berbau khas itu. Firman, Re dan Vay mengalah dan memilih sarapan di luar.

Jengkol, dibilang tidak suka, nyatanya aku doyan. Dibilang suka tapi aku tak tahan aromanya. Ia bilang aku harus memakannya pelan-pelan dan nikmati sensasi rasanya yang kata Nada mengalahkan daging. Ah, mereka berdua bisa saja. Masa sih cuma makan jengkol meski menggunakan hati.

***

Suara pintu kamar terbuka, Inah takut-takut masuk sambil menenteng bungkusan. Ia mengacungkan bungkusan itu tinggi-tinggi. Aku mengangguk cepat dan tersenyum lebar. Iya, hari ini aku meminta Inah untuk membuat pecak jengkol. Aku berusaha untuk menyukainya sangat seperti dirimu dan Nada.

***

Malam itu semua sibuk berkemas. Firman, Nada, dan Papa. Tak ketinggalan duo ReVay. Re dan Vay menjinjing tas ranselnya ke kamar ayah dan ibunya. Tas mereka terlihat menggelembung, penuh. Terdengar samar suara Nada yang mengingatkan Vay akan Leony--boneka singa kesayangannya. Vay melesat ke kamarnya dan kembali lagi dengan Leony di tangan. Boneka yang sejak lahir telah menemani tidurnya. 

Dulu Re sering mengejek Vay. Anak perempuan kok suka singa bukan barbie. Vay bilang Leony selalu menjaganya dalam tidur. Vay meyakini Leony adalah raja hutan yang sering didongengkan Firman sebelum tidurnya. Kuat, perkasa dan ditakuti binatang lain. Vay kelak ingin seperti Leony, dikagumi dan ditakuti karena keperkasaannya. Tapi Vay perempuan, Re mengejeknya lagi. Vay membusungkan dada bahwa ia adalah perempuan perkasa yang nantinya berani bepergian jauh kemana saja seperti ayah dan bunda. Re bungkam. Ia pun bercita-cita sama.

Setelah memastikan isi tas Re tak ada yang tertinggal. Firman membawa ransel itu ke garasi. Memasukkannya ke dalam mobil. Mereka akan berangkat esok pagi-pagi sekali.

Kulihat ia hanya menyiapkan tas ransel kecil seperti biasanya. Saat kutanya kenapa hanya membawa satu baju saja, ia menjawab santai. Katanya akan beli saja di sana nanti. Ia langsung menjawil pipiku saat kuperlihatkan ekspresi tak setuju. Ia tahu aku adalah penghemat sejati. Tapi bukan pelit. Hanya terlalu irit kalo Firman bilang. Kalimat selanjutnya cukup menenangkanku. Ia bilang akan pulang lebih dulu karena tak tega meninggalkanku hanya bersama Inah di rumah. 

***

Subuh itu, mereka bersiap berangkat. Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Ia membacanya. Lalu turun lagi dari mobil yang sudah menggerung siap untuk dipacu. Ia bilang hanya sampai menemani Re dan Vay tidur dan akan segera kembali. Firman dan Nada juga ikut turun lagi. Mereka merasa berat dan meminta maaf lagi karena tak membawaku serta. Aku tahu kondisiku yang semakin melemah membuat mereka tak lagi membawaku liburan. Bukan liburan, tapi reward gratis menginap tiga hari empat malam di hotel untuk sekeluarga yang diterima Nada dari bosnya akan prestasinya di kantor. Entah yang mana, aku tak mengingatnya, prestasi Nada banyak. 

Aku melepas kepergian mereka dengan setengah hati. Entah kenapa aku menjadi melow, tak seperti biasanya. Kuisyaratkan pada Inah aku merasa ini adalah pertemuan terakhirku dengan mereka. Inah mengingatkanku untuk beristighfar dan berdoa saja. Aku merasa waktuku yang sudah dekat atau sebaliknya. Entah. Kuberharap firasatku tak benar. 

***

Lama aku terdiam di sisi kolam, mengikuti nila-nila di dalamnya berenang memutari area tempat tinggalnya itu. Kolam ini belum lama ada. Ia membuatnya sekitar delapan bulan lalu. Sudah lama berarti, ya. Untuk melepas penat saat pulang kantor katanya. Bukankah balkon adalah tempat favoritnya? Kolam itu adalah spot indah yang dibuatnya khusus untukku di belakang rumah, katanya. Supaya aku tidak repot naik turun tangga ke balkon jika Inah tak ada. 

Tapi pada praktiknya lebih sering Re dan Vay yang bermain di sekitar kolam. Mereka berdua yang rajin memberi makan nila-nila itu dibanding Inah dan aku. Mereka punya nama tersendiri untuk masing-masing nila, entah bagaimana membedakannya. Imanjinasi Re dan Vay tinggi sekali, mereka saling adu dialog seakan bercengkrama dengan nila-nila itu. 

Firman dan Nada lain lagi. Kolam ini laksana tempatnya bersembunyi. Sering kudapati salahsatu dari mereka berdiam lama tak melakukan apa-apa. Firman sering kali hanya duduk di tepiannya. Katamu, jika salahsatu dari mereka begitu, mereka sedang instrospeksi. Mereka pasti sedang bersitegang. Aku memanyunkan bibir tanda tak setuju. Tahu dari mana mereka sedang cekcok. Terangmu, begitulah aku bila sedang tak sehati denganmu, menyendiri. Katamu, Firman mewarisi sifatku. 

***

Sabtu sore itu aku membawa kursi rodaku ke tepian kolam. Menyendiri. Menikmati rindu pada kalian yang sedang berlibur. Dirimu tak jadi pulang karena duo ReVay menahanmu. Padahal kalian hanya pergi untuk tiga hari, tapi terasa amat lama waktu berjalan. 

Byuuurrrr....! Tiba tiba relief dinding kolam berguguran dan jatuh ke dalam airnya. Aku terkesiap. Airnya memercik ke wajahku. Nila-nila berpencaran, mungkin ada yang mati tertimpa. Tanpa kutahu datangnya, Inah menyentuh bahuku pelan. Matanya berkaca-kaca. 

***

Inah tak berkata apa pun, ia malah menangis sesunggukan dan mendorong kursi rodaku cepat. Inah membawaku ke ruang tengah. Kulihat televisi menyala menayangkan berita. Baru saja terjadi Tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak Krakatau di Selat Sunda yang menghantam pesisir Banten dan Lampung.

Semua berkelebatan.
Duo Revay berlarian berkejaran di ruang tamu naik turun sofa. Aku tak bisa mencegah hanya tersenyum menatap mereka yang tertawa riang.

Nada yang baru pulang dengan muka kusut menggerutu tak jelas. Membanting pantatnya di sofa, lelah. Ternyata kameranya rusak di saat yang tak tepat.

Firman pun misuh-misuh keluar kamar setelah berbicara di telepon cukup lama. Rencana travelling-nya keluar negeri gagal lagi. Tapi kebalikannya, Nada senang sekali menertawainya. Dan Firman yang semakin manyun pun berlalu cepat ke kolam belakang. 

Ia yang datang selalu dengan wajah segar. Paling dinantikan kepulangannya oleh duo Revay. Ayah bunda pulang disambut dengan senyum sekilas lantas lanjut main lagi. Tapi jika kakek yang datang mereka telah bersiap untuk membuka pintu. Apa yang kakek bawa kali ini, adalah pertanyaan pertama yang akan terlontar dari bibir mungil Vay.

Adegan haru saat kumenggedong baby mungil Vay yang baru dilahirkan di rumah sakit. Akhirnya aku punya cucu perempuan. Nada bersikukuh ingin berswafoto bersamaku dengan ponselnya. Meski Firman menawarkan diri jadi fotografer dadakan.

Berita di televisi mengembalikanku lagi ke alam nyata. Beberapa jenak kuterpaku tak percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Dampak terhebat menimpa hotel, vila dan pantai-pantai sepanjang pesisir Banten. Satu nama hotel yang amat jelas terdengar dan disebut berulang kali. Hotel itu luluhlantak terbawa arus dan menewaskan hampir semua pengunjungnya. Hotel itu tempatmu, FimanNada dan duo ReVay berlibur.

#RumLitWritingChallengeJanuari2019
#ChallengeWeek1
#FiksiZya
#Ceritatanpadialog

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran