Merah di Ghaza

Merah di Ghaza 


Aku tak tahu apa yang terjadi di luar, bising sekali. Dentuman demi dentuman terdengar silih berganti memekakkan gendang telinga. Ibu menutupi telingaku, mungkin niatnya meredam suara itu agar tak tertangkap dengar olehku.

Aku menggeliat, suara-suara itu sesungguhnya telah membangunkan aku sejak tadi. Mataku mulai menjelajah sekitar. Di mana lagi ini? Ibu terlihat gelisah, ia mendekapku erat. 

Sudah beberapa hari ini kami selalu berpindah-pindah tempat, tak tahu kenapa saat membuka mata aku selalu menemukan tempat asing yang baru. Terkadang bersama-sama dengan yang lain, tapi pernah juga beberapa kali hanya aku, ibu dan para kakak.

*

Aisha, kakak perempuanku yang pertama. Ia cantik dan perkasa. Cantik dengan jilbab hitamnya dan perkasa dengan senjata di pundaknya serta secarik kain panjang bertuliskan kalimat tauhid yang menjadi aksen tambahan di kepalanya membuatnya semakin gagah. Jika tak mengenakan jilbab mungkin orang menyangka ia laki-laki.

Sudah hampir sebulan aku tidak melihat kakak perempuanku itu. Ibu telah berhenti menyebut namanya, sesekali menangisinya. Aku tak tahu kenapa, tapi seusai menangis tersedu ibu malah tersenyum bahagia. Tak pernah kujumpai senyum semanis dan sebahagia itu terlukis di wajahnya. Bahkan saat aku mulai bisa merangkak di kali pertama. 

*

Fatima, kemarin ia menemui kami di reruntuhan gedung. Membawakan beberapa lembar roti kering dan kantung air. Wajahnya sangat kusam tapi ada cahaya terang kulihat di sana. Aku tak henti menyentuh wajahnya yang berkilau itu. Fatima, kakak perempuanku yang lain, lima tahun lebih muda dari Aisha. Cantik dan perkasa juga manis karena ia sering tersenyum. Bukan berarti kak Aisha tidak pernah tersenyum dan ia tak manis. Kedua kakakku adalah yang terbaik di mataku. Juga ibu. Ia sangat bangga saat menyebutkan namanya. Aku ingin kelak seperti mereka yang membuat ibu bangga denganku. Merinding saat memanggil namanya. 

Kemarin ibu dan Fatima berpelukan erat sekali seperti tak ingin dilepaskan. Ibu mencium keningnya lama. Mengusap wajahnya sambil merafalkan jutaan doa. Fatima juga mencium dan memelukku begitu lama, hangat dan damai. Saat mengembalikanku ke pangkuan ibu, aku berpegangan erat pada bahunya. Tak ingin kulepaskan. 

"Jaga ibu ..." lirihnya. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Aku menangis keras saat ibu memaksaku melepas pegangan. Entah, aku merasa tak akan bertemu lagi dengannya. 

*

Seperti Aisha yang tak kunjung menemuiku lagi. Dan sekarang mereka berdua tak lagi datang menemui kami. Aku dan ibu, hanya berdua di sini. Di lubang bawah tanah yang entah di mana. 

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Menderap saling bersahutan di atas sana. Banyak. Tidak hanya satu orang. Siapa mereka? 

"Um, bersiaplah ... mereka semakin dekat ..." seorang lelaki berwajah teduh mirip ayahku--yang juga entah telah pergi kemana--menghampiri kami. Di belakangnya beberapa pemuda memegang senjata mengamati sekeliling. Ibu segera meraihku dalam gendongan. Saat itu kutahu kami akan berpindah tempat lagi. 

Dooor dooor doooor!!!

Belum sempat lelaki teduh itu berpaling, tiga pemuda di belakangnya telah roboh bersimbah darah. Ibu menutupi wajahku dengan tangannya, tapi aku meronta. Kudengar jantung ibu berdegup kencang. Ia memelukku erat padahal aku tak menangis.

Dari kejauhan kulihat wajah-wajah garang dengan tatapan penuh kebencian berlari ke arah kami sambil terus mengacungkan senjatanya dan memuntahkan peluru. Lelaki teduh maju ke depan kami berusaha melindungi dengan senjata seadanya. Tapi ia pun tak lama roboh juga. 

Suara takbir bergema lantang di reruntuhan gedung ini. Wajah-wajah damai bergelimpangan. Mereka menyungging senyum indah dengan wajah bercahaya. 

Wajah-wajah garang dan menakutkan itu kini tiba di hadapan kami. Iya, hanya aku dan ibu yang tersisa. Salah seorang di antara mereka mengacungkan senjata siap menembak. Ibu menatapku lama dengan senyum bahagia seperti senyum saat menyebut nama kedua kakakku, Aisha dan Fatima. Di wajah ibu juga kulihat cahaya terang seperti di wajah Aisha dan Fatima. Aku senang melihatnya. Aku tertawa saat ibu mentransfer cahayanya padaku. Kurasakan wajah dan tubuhku pun turut berkilauan. Aku merasa terbang ke langit bersama ibu. Di kejauhan kulihat ayah, kak Aisha dan kak Fatima merentangkan tangan mereka menyambut kami. 

#savepaletine
#ghazapalestine
#fiksizya
#RumlitWritingChallenge

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senantiasa Memurnikan Cinta

Cara Mudah Menyimpan Jengkol Agar Lebih Awet

Cara Mengenali Gula Merah Asli di Pasaran